Ibu Atikah jadi teman bercintaku

Ibu Atikah jadi teman bercintaku



Namaku Ari, di cerita “Ibu Atikah yang seksi” dan “Ibu Atikah ternyata haus sex” hubunganku dengan Bu Atikah jadi lebih dekat dan mesra, apalagi kedua orang tuaku merasa senang kalau anaknya dibimbing langsung oleh gurunya.

Suatu hari sepulang sekolah, Bu Atikah menyuruhku datang ke rumahnya. Rupanya dia minta aku untuk menemaninya ke kampung sebelah menghadiri undangan dari salah satu orang tua muridnya, memang sih lumayan jauh jaraknya karena harus ditempuh dengan jalan kaki melewati pinggiran hutan dan pesawahan. Cuaca sedikit mendung saat itu, kulihat Bu Atikah sudah siap berangkat dengan membawa tas dan payung di tangannya. Kami pun berjalan menyusuri jalan bebatuan menuju kampung sebelah, syukurlah setelah berjalan hampir satu jam, kami bisa tiba di sana dengan cuaca yang masih cerah, Bu Atikah pun tidak berlama-lama di undangan itu, selesai menyalami tamu-tamu lainnya, dia pun buru-buru pamitan, khawatir hujan menghadang perjalanan kembali ke rumahnya.

Ternyata benar dugaannya, sampai di pinggiran hutan, hujan pun turun dengan derasnya padahal perjalanan masih harus ditempuh sekitar satu jam dengan berjalan kaki. Bu Atikah pun mengajakku berlari-lari kecil untuk menghindari hujan sambil menuju ke sebuah gubuk kecil yang biasa digunakan berteduh oleh tukang kebun di situ, kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari pinggir jalan setapak yang kami lalui, namun belum sampai di gubuk kecil itu, kaki Bu Atikah tersandung pada sebuah ranting pohon yang melintang di depannya, Bu Atikah pun jadi terjatuh di jalan setapak itu. Dengan sekuat tenaga aku mengangkat tubuhnya yang lumayan berat untuk tenaga seumuranku. Akhirnya kupapah Bu Atikah duduk di atas papan yang tersusun di gubuk kecil yang berukuran dua kali dua meter itu. Aku sedikit panik, kulihat Bu Atikah mengurut-urut betisnya, aku pun langsung ikut mengurut-urut kakinya.

Bu Atikah tersenyum padaku dengan wajahnya yang setengah basah terkena air hujan semakin membuatnya terlihat menggairahkan, apalagi dengan rok pendek yang dipakainya itu, kaki Bu Atikah jadi sedikit terbuka sampai ke selangkangannya. Tanganku yang tengah mengurut-urut betisnya jadi menjalar ke bagian pahanya, namun Bu Atikah membiarkan ulahku itu, dia malah menarik roknya semakin tersingkap keatas, membuat pahanya yang mulus dan montok jadi terbuka di depan mataku. Penisku jadi terangsang oleh pemandangan itu, perlahan jadi mengeras dan terlihat menyembul dibalik celanaku. Tangan Bu Atikah pun langsung mengarah ke situ, dielus-elusnya penisku, sambil perlahan-lahan dia menurunkan celana pendekku. Bu Atikah pun membiarkan penisku sejenak sambil menatapnya, dia tersenyum geli melihat penis kecilku yang sangat tegang itu. Lama kelamaan aku jadi terbiasa diperlakukan seperti itu oleh Bu Atikah, bahkan cenderung ketagihan, maklumlah namanya lagi puber-pubernya.

Hujan pun semakin deras disertai angin yang bertiup kencang, suasana benar-benar sangat mendukung bagi kami disitu, Bu Atikah mendekatkan mulutnya ke arah penisku, perlahan-lahan lidahnya mulai menjilati batang penis kecilku, bukan main nikmatnya. Lalu penisku dimasukkan seluruhnya kedalam mulutnya, lidahnya menggelitik-gelitik ujung penisku yang sedang dikulumnya itu. Sungguh rangsangan yang luar biasa, saat Bu Atikah mengisap-isap penisku itu. Aku pun dengan polosnya memasukan tanganku ke dalam rok Bu Atikah sambil meraba-raba dua bulatan pantatnya, lalu kupuaskan hasratku dengan meremas-remas pantatnya itu, sementara tanganku yang satu kumasukkan ke dalam blus nya untuk meraih payudaranya yang padat dan montok, betapa nikmatnya suasana saat itu. Aku dengan bebas melakukan apa saja yang menjadi hasrat nafsuku, pakaian Bu Atikah pun jadi acak-acakkan karena ulah tangan nakalku itu, tapi dia menyukainya dan bahkan seakan menyuruhku melakukan apa saja yang menjadi keinginanku terhadap tubuhnya. Aku pun semakin berani menggerayangi tubuhnya yang montok itu, sampai akhirnya celana dalamnya pun aku buka, rok nya kusingkapkan sampai batas pinggangnya, sehingga terlihat jalas pahanya mulus dan padat, lalu kubuka selangkangannya sambil ku usap-usap vaginanya yang menyembul disela-sela pangkal pahanya itu.

Sementara itu penisku yang tengah dijilatinya semakin tegang luar biasa, Bu Atikah pun melepas penisku dari hisapannya, lalu dia membimbing penisku itu kearah lubang vaginanya, dalam sekejap saja terbenam sudah seluruh batang penisku ke dalam lubang vaginanya. Hangat sekali rasanya, penisku seperti sedang dipijit-pijit oleh jepitan dinding vagina Bu Atikah, aku kelojotan tidak karuan menahan rasa geli bercampur nikmat, di tengah derasnya suara hujan dan dinginnya cuaca saat itu, Bu Atikah semakin erat mendekapku, layaknya seorang ibu yang lagi mendekap anaknya di tengah kedinginan, sementara di sebelah bawah penisku menancap dengan kokoh dalam lubang vaginanya. Perlahan kucabut penisku lalu kubenamkam lagi, terus berulang-ulang semakin cepat frekwensinya. Batang penisku terasa berdenyut hebat karena gesekan berulang-ulang pada dinding vagina Bu Atikah. Namun kali ini aku semakin mahir mengimbangi nafsuku terhadap Bu Atikah, sehingga permainan itu benar-benar kunikmati, tidak seperti kemarin-kemarin, yang mana begitu dicelupkan aku langsung kelojotan, dan dalam beberapa menit saja air maniku sudah muncrat di dalam lubang vagina Bu Atikah.

Namun karena dasyatnya goyangan pinggul Bu Atikah, penisku tidak mampu lagi membendung air maniku yang sudah berada di ujung siap menyemprot. Bu Atikah menangkap gelagatku yang tengah berpacu mencapai klimaksnya, dia pun menggoyangkan pinggulnya dengan cepat sambil mengencangkan jepitan dinding vaginanya, bukan main rasanya penisku serasa diremas-remas. Akhirnya dengan sedikit erengan pertanda nikmat sambil kudekap erat tubuh Bu Atikah, air maniku muncrat di dalam lubang vagina Bu Atikah, puas sekali rasanya bersetubuh dengan Bu Atikah.

Seakan mengerti gejolak hatiku, hujan pun berhenti seketika bersamaan dengan berhentinya pergumulanku dengan Bu Atikah di gubuk kecil itu. Kulihat Bu Atikah pun merapihkan pakaiannya yang acak-acakan tadi, begitu juga aku. Kami pun akhirnya kembali meneruskan perjalanan menyusuri jalan setapak menuju rumah Bu Atikah, hari itupun berlalu begitu cepat. Setibanya di rumah Bu Atikah hujan pun kembali turun dengan derasnya, kali ini disertai petir menyambar, untunglah kami sudah tiba di rumahnya. Bu Atikah segera menyalakan lampu-lampu rumahnya. Dia menawarkan teh hangat kepadaku, sekedar untuk mengurangi rasa dingin akibat cuaca diluar saat itu. Kulihat Bu Atikah bergegas menuju kamarnya, kelihatannya dia hendak mengganti bajunya yang kebasahan tadi. Sementara aku masih duduk di ruang tengahnya sambil menikmati teh hangat bikinan Bu Atikah tadi. Tiba-tiba Bu Atikah keluar dari kamarnya, dia tidak menggati bajunya seperti dugaanku, melainkan hanya memakai sepotong kain batik yang pernah kulihat beberapa waktu yang lalu saat sedang mencuci di sumur. Kain itu dililitkan setinggi dadanya, aku benar-benar terobsesi oleh penampilannya yang seperti itu, di mataku dia terlihat seksi sekali dengan mengenakan selembar kain yang dililitkan di tubuhnya itu, apalagi saat kualihkan pandanganku ke bagian pantatnya, gairahku langsung menggebu-gebu ingin menggumuli bagian itu sepuas-puasnya. Penisku kembali berkontraksi, diiringi pandanganku yang tidak berkedip memandangi tubuh Bu Atikah yang tengah berjalan menghampiriku, rupanya Bu Atikah memahami apa yang jadi kegemaranku dari penampilannya selama ini. Dia langsung duduk disebelahku sambil melepas ikatan kain yang melingkar di tubuhnya, dan membiarkannya tanpa terikat agar aku bebas meraba-raba seluruh bagian tubuhnya. Sungguh suatu kepuasan yang tidak terkira bagiku, dapat memegangi seluruh bagian tubuh Bu Atikah dalam keadaan seperti itu. Aku pun mulai menggesek-gesekan penisku yang mulai ngaceng pada kain itu, tampak Bu Atikah tersenyum melihat tingkahku yang aneh-aneh itu, dia pun cepat tanggap terhadap keanehan gairahku saat itu, dia usap-usapkan kainnya di selangkanganku sambil melilitkan sebagian ujungnya pada batang penisku yang sudah tegang itu. Nikmat sekali rasanya, saat itu obsesiku benar-benar jadi kenyataan. Bu Atikah terus merangsangku dengan cara seperti itu diiringi gemuruh suara hujan di luar sana. Melihatku mulai kewalahan dengan rangsangannya itu, lalu dia terlentang tanpa melepaskan kain yang melingkar di tubuhnya itu, sambil menarik badanku kedekapannya dia menyingkapkan bagian kain yang menutupi vaginanya, lalu dia mengarahkan penisku ke tengah-tengah selangkangannya, seakan sudah terbiasa dengan gaya seperti itu, penisku dengan lancar menerobos masuk ke dalam lubang vagina Bu Atikah, sesaat Bu Atikah terdiam merasakan desakan penisku yang mulai terbenam seluruhnya di lubang vaginanya itu, lalu dia tersenyum manja padaku. Kelihatannya Bu Atikah pun merasakan nikmatnya desakan penisku pada vaginanya itu, dia pun mendesis pelan. Terasa berdenyut pada batang penisku yang tengah menancap di lubang vaginanya itu, aku mulai mencabut dan membenamkannya kembali penisku itu berulang-ulang ke dalam lubang vagina Bu Atikah.

Sementara Bu Atikah tidak tinggal diam, dia raih bagian ujung kainnya itu, lalu mengusap-usapkannya di kedua biji penisku, bukan main nikmatnya rangsangan seperti itu, Bu Atikah benar-benar mahir memuaskan laki-laki. Aku jadi tak berdaya dibuatnya, yang ada hanyalah rintihan-rintihan sebagai bukti dari rasa nikmat yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bu Atikah semakin gencar menggoyangkan pinggulnya, penisku yang berada dalam jepitan vaginanya terasa seperti dipijit-pijit kecil. Gerakan pinggul Bu Atikah yang berputar ke kiri ke kanan sungguh membuatku jadi sangat terangsang, nafsuku jadi semakin tinggi. Tanpa kusadari vagina Bu Atikah sudah mengeluarkan caitan bening sebagai tanda kalau dirinya sudah siap disetubuhi, akhirnya genjotanku pada vaginanya semakin cepat, sambil sesekali kubenamkan seluruh batang penisku ke dalamnya. Bu Atikah pun merintih hebat, kelihatannya dia hampir mencapai puncaknya. Ternyata dugaanku benar, setelah beberapa saat tubuh Bu Atikah mengejang sambil menekan badanku seakan hendak menancapkan seluruh batang penisku sedalam-dalamnya ke lubang vaginanya itu, kontan saja membuat penisku jadi serasa dijepit-jepit tidak karuan, sampai aku tak sanggup lagi menahan dorongan air maniku yang hendak menyembur keluar. Melihatku kelojotan seperti itu Bu Atikah langsung menggoyang-goyangkan pinggulnya jadi berputar seakan-akan tengah mengocok penisku, akhirnya air maniku keluar menyemprot diseluruh dinding vagina Bu Atikah. Aku pun terkulai lemas sampai tertidur dalam dekapan Bu Atikah hingga keesokan harinya.

Sungguh luar biasa Bu Atikah dengan tubuhnya yang montok telah mewujudkan apa yang menjadi obsesiku selama ini. Terima kasih Bu Atikah, Ibu telah mendewasakan aku dan membawaku lebih dulu dari teman-teman sebayaku kedunia yang kini tidak tabu lagi untukku.