Pesugihan membawa nikmat (2)

Pesugihan membawa nikmat (2)



Pada hari ke lima, merupakan puncak acara ritual sebelum kami kembali ke Jakarta, dimana sebelumnya selama empat hari berturut-turut aku dan ibu tiriku tak henti-henntinya melakukan persetubuhan baik siang maupun malamnya, bukan sekedar memenuhi persyaratan ritual kami semata, namun bagiku peritiwa tersebut merupakan sebuah kenikmatan tersendiri yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Anggap saja suatu hal baru yang luar biasa, mengenai siapa lawannya mainku saat itu yang sesungguhnya adalah ibu tiriku sendiri, yang mana ayahku pun pernah menikmati tubuhnya selama bertahun-tahun ya anggap saja kecelakaan. Tapi sungguh aku merasakan suatu kepuasan tersendiri dari petualangan pesugihan itu.

Di gubuk itu ibu tiriku jadi seperti istriku, melayaniku setiap saat, apalagi bersetubuh saat itu bagiku adalah hal baru, yang pasti aku lagi getol-getolnya, akhirnya ibu tiriku jadi bulan-bulanan gairah birahiku hampir setiap jam, bagaimana tidak kalau hampir setiap jam itu pula kontolku ngaceng. Selama di gubuk itu tubuh ibu tiriku hanya terbungkus kain batik panjang sebatas dada sampai lututnya, separuh dari tubuh ibu tiriku yang montok dan mulus itu dibiarkan terbuka tanpa sehelai benang pun yang menutupinya, pemandangan itu setiap saat selalu terlihat di depan mataku, mau nggak mau kontolku ngaceng terus, terpaksalah setiap satu jam sekali ibu tiriku jadi sasaran nafsu birahiku, dan memeknya jadi saluran pembuangan air maniku.

Pokoknya melebihi dari persyaratan yang ditentukan, yang sebenarnya dengan tujuh kali persetubuhan saja sudah cukup. Sedangkan aku dan ibu tiriku sehari semalam bisa sepuluh kali, jadi kalau lima hari berarti aku bersetubuh dengan ibu tiriku sebanyak lima puluh kali. Wah hebat juga ya…

Kini tibalah malam terakhir, atau lebih jelasnya puncak ritual dari pesugihan yang kami tempuh. Saat itu seperti biasa ibu tiriku hanya mengenakan kain panjangnya yang berwarna coklat sebatas dada sampai lututnya, dengan membawa peralatan seperlunya menunggu Mang Karsim di emper gubuk. Tidak lama Mang Karsim pun datang dengan seorang kakek, katanya orang sakti di situ, yang biasa dipanggil eyang kuncen, singkat cerita kami pun berangkat ke tengah hutan, ke kuburan keramat tempat ritual akan dilaksanakan.

Sesampai di sana ritual pun dimulai, dipimpin eyang kuncen tadi, aku dan ibu tiriku ikut bersemedi sambil duduk di atas tikar yang telah disiapkan. Kurang lebih satu jam berlangsungnya pembacaan mantra, si eyang kuncen menyodorkan air putih kepada aku dan ibu tiriku, yang telah dibacakan mantra-mantra olehnya.

Lalu eyang kuncen memberi isyarat agar ibu tiriku duduknya mendekat didepannya, aku pun tidak mengerti apa yang akan dilakukan selanjutnya, suasana saat itu benar-benar sepi, yang terdengar hanya bunyi dedaunan yang tertiup angin. Ibu tiriku dibaringkan di atas tikar tadi dengan posisi terlentang, kulihat eyang kuncen kembali membaca mantra-mantranya, tapi tangannya bergerak menelusuri tubuh ibu tiriku, hampir identik dengan meraba, sementara kain batik panjang yang berwarna coklat masih tetap melekat di tubuh ibu tiriku. Lama kelamaan rabaan tangan si eyang kuncen tadi makin liar, hampir keseluruh bagian tubuh ibu tiriku, tak luput pada bagian-bagian sensitifnya. Aku tetap berusaha tenang menyaksikan adegan itu, tak ketinggalan Mang Karsim pun menyaksikan adegan itu dengan penuh perhatian.

Tapi keadaan jadi agak panas saat rabaan si eyang mengarah ke dalam kain panjang yang menutupi tubuh ibu tiriku, tangannya menelusuri sela-sela kaki ibu tiriku menuju ke selangkangannya, setahuku ibu tiriku tidak memakai celana dalam lagi, berarti rabaan si eyeng itu langsung mengenai memek ibu tiruku. Sepuluh menit sudah si eyang mengobok-obok memek ibu tiriku, sementara tangan yang satunya meraba payudara ibu tiriku sampai ikatan kain panjang yang dipakai oleh ibu tiriku terlepas.
“Ooouh…ooouh…ssshh..!” ibu tiriku mendesis pelah merasakan rangsangan tangan si eyang kuncen itu. Aku jadi ikut-ikutan terangsang melihat ibu tiriku diraba-raba seperti itu. Kontan saja kontolku jadi ngaceng juga gara-gara si eyang itu.

Tapi betapa kagetnya aku ketika si eyang kuncen menurunkan celana kolornya dan mengeluarkan kontolnya yang belum begitu tegang. Lalu dia singkapkan kain panjang ibu tiriku persis yang menutupi bagian sensitifnya, sehingga terbukalah mulai dari selangkangan sampai terlihat dengan jelas memek ibu tiriku yang gempal dan padat. Si eyang terus mengocok kontolnya, sampai terlihat mulai ngaceng sedikit, lalu diangkatnya kedua paha ibu tiriku sehingga mengangkang di depannya, si eyang kuncen pun mulai mengarahkan ujung kontolnya ke lobang memek ibu tiriku, di gesek-gesekkannya terlebih dahulu batang kontolnya oleh si eyang di sela-sela paha ibu tiriku yang terlihat sangat putih, mulus dan menggairahkan itu, mungkin biar tambah ngaceng, pikirku dalam hati. Tak berapa lama dia dorong ujung kontolnya sampai terbenam semua ke dalam lobang memek ibu tiriku. Anehnya ibu tiriku tidak protes sedikitpun, seakan-akan dia pasrah atas perlakuan si eyang itu. Tampak si eyang mulai menggenjot kontolnya ke dalam memek ibu tiriku, sialan juga si eyang ini, pikirku dalam hati.
“Ooo…iya…ah..aah..aah..cretts..cretts..crett..huuaah..!” si eyang mengeluh saking lelahnya telah menyemprotkan air maninya di dalam memek ibu tiriku.

Aku jadi kasihan melihat ibu tiriku dalam posisi tergeletak diatas tikar dengan keadaan setengah telanjang seperti itu, sementara si eyang selesai melampiaskan nafsunya tampak terhuyung-huyung menuju ke bawah pohon untuk buang air kecil. Begitu aku hendak menutupi memek ibu tiriku dengan kain panjangnya yang tengah tersingkap, tiba-tiba Mang Karsim melarangku sambil dia ambil posisi seperti si eyang tadi, persis ditengah-tengah selangkangan ibu tiriku. Tangannya mulai meraba-raba ke memek ibu tiriku, sementara tangan satunya terus mengocok-ngocok batang kontolnya sampe terlihat tegang sekali.
“Blesh…plept…crok..crok..” dalam sekejap saja kontol Mang Karsim sudah terbenam dalam memek ibu tiriku yang sudah basah terlumuri air oleh maninya si eyang sialan tadi. Waduh gimana nanti giliranku, pasti sudah banjir, pikirku dalam hati.

Mang Karsim dengan penuh nafsu terus menggenjot kontolnya ke dalam memek ibu tiriku, tangannya sibuk meraba-raba ke seluruh tubuh ibu tiriku dengan ganasnya.
“Uuuhh…ooow…jangan keras-keras…!” ujar ibu tiriku mulai sadar kalau dirinya sedang diantri oleh orang-orang sialan ini, pikirku.
“Ooouh..ooohh..sshh…aaah..aah..!” Mang Karsim pun seperti mengigau menahan nikmatnya menyetubuhi ibu tiriku. Hentakan demi hentakan kasar dihunjamkannya ke memek ibu tiriku oleh Mang Karsim. Kelihatannya di menggunakan ilmu aji mumpung, kapan lagi bisa dapat mangsa yang molek dan mulus seperti ibu tiriku ini. Dia puas-puasin aja, apalagi ini malam terakhir aku dan ibu tiriku di kampung ini.

Tidak lama si eyang menghampiri kea rah kami sambil memberi isyarat kepada Mang Karsim agar segera menyudahi persetubuhannya terhadap ibu tiriku. Mang Karsim pun segera menggenjot kontolnya lebih cepat lagi, sampai kain panjang yang dipakai menutupi tubuh ibu tiriku terlepas tidak karuan, kesempatan itu tidak disia-siakan ole Mang Karsim untuk menggerayangi seluruh tubuh ibu tiriku yang sudah hampir terbuka seluruhnya. Tampak payudara ibu tiriku bergoyang dengan keras karena dorongan Mang Karsim yang lagi menggenjot paksa memek ibu tiriku.
“Oooh…ohh…ohh..ohh…crotts…crotts…crott..uuuhh..!” Mang Karsim nampaknya mengalami orgasme, air maninya dibiarkan menyemprot di dalam lobang memek ibu tiriku. Ampun deh, masa aku harus dapat sisa-sisa dari orang-orang ini, pikirku.

Tapi apa mau dikata kalau memang itu syaratnya, ya apa boleh buat. Mudah-mudahan saja tidak harus sampai kesitu, pikirku. Disatu sisi aku kasihan terhadap ibu tiriku yang sudah terlanjur dating ke kampong ini, di sisi lain aku tidak tega dia disetubuhi orang lain terus yang tidak jelas pula asal usulnya. Ternyata menurut si eyang ritual kami selesai, artinya kami persiapan menuju ke gubuk lagi. Sambil tertatih-tatih ibu tiriku berjalan bersama kami menuju gubuk, lumayan jauh juga jaraknya.

Belum sampai ke gubuk, perjalanan kami dikagetkan dengan segerombolan pemuda yang menghadang kami dengan bersenjatakan golok-golok yang tajam. Kami pun terhenti, tampak dari sekelompok anak-anak muda tersebut mengusir Mang Karsim dan si eyang dengan bahasa daerah yang sama sekali kami tidak memahaminya, mereka berdua pun bergegas meninggalkan aku dan ibu tiriku di tengah-tengah berandalan tadi.

Salah satu dari mereka tersenyum jahat sambil menatap ke tubuh ibu tiriku mulai dari ujung kaki sampai ke kepala. Lalu mereka saling berbisik sesama temannya, akhirnya seorang anak berandalan itu maju dan mengancam ibu tiriku agar melepas kain panjang yang melingkar ditubuhnya, terlihat ibu tiriku mulai gemetar ketakutan. Akhirnya ibu tiriku menuruti keinginan mereka, perlahan-lahan ibutiriku melepas ikatan kain panjang yang dipakainya itu, lalu perlahan-lahan melepasnya hingga kain itu melorot jatuh ke tanah. Anak-anak berandalan tersebut tersenyum kagum melihat kemolekan tubuh ibu tiriku yang montok dan mulus itu.

Lalu satu dari mereka menghampiri kearah ibu tiriku berdiri sambil mengusap-usap pipi ibu tiriku, terus tangannya bergeser ke arah payudara, lantas kedua tangannya meremmas-remas payudara ibu tiriku yang sudah tergantung bebas itu. Satu lagi dari mereka menghampiri ibu tiriku, lalu meremas-remas pantat ibu tiriku dengan penuh nafsu. Aku terdiam dibawah ancaman senjata tajam mereka, sementara kulihat ibu tiriku mulai dibaringkan paksa oleh mereka, sambil digerayangi rame-rame. Ada yang mulai menurunkan celananya, ada juga yang masih mengocok-ngocok kontolnya, ada juga yang mengsesek-gesekan batang kontolnya di pipi ibu tiriku, bahkan ada juga kulihat yang kontolnya sudah sangat tegang. Terlihat satu orang yang badannya paling besar mengangkat kedua kaki ibu tiriku lalu membuka kedua paha ibu tiriku itu sambil mengelus-elus kontolnya yang sudah ngaceng, tiba-tiba ibu tiriku menjerit menahan sakit ketika anak itu membenamkan batang kontolnya yang sudah sangat tegang ke dalam memek ibu tiriku.
“Aduuuh……aduuuh…ampuun..sakiit…!” teriak ibu tiriku karena memeknya ditembus oleh kontol anak itu dengan paksa. Secara bergantian satu persatu, dari mereka menyetubuhi ibu tiriku yang tergeletak tak berdaya diatas rerumputan.
Kulihat memek ibu tiriku sudah dibanjiri ole air mani mereka, ada juga yang menyemprotkannya ke muka ibu tiriku, bahkan ada yang meminta ibu tiriku agar mengulumnya sampai air maninya keluar dalam mulut ibu tiriku. Dari mereka ada yang sampai orgasme berulang-ulang lebih dari satu kali.

Kejadian di tengah hutan itu berlangsung kurang lebih tiga jam, karena pada saat mereka meninggalkan kami terlihat matahari sudah mulai terbit. Aku sangat prihatin melihat kondisi tubuh ibu tiriku yang sudah lemas digilir tujuh orang, berulang-ulang sampai pagi. Terlebih lagi bila melihat sekujur tubuhnya yang terlihat licin dilumuri air mani beberapa orang tadi. Akhirnya kami pun kembali ke gubuk dan langsung berkemas pulang ke Jakarta dengan kecewa.

Semenjak kejadian itu aku jadi makin sayang terhadap ibu tiriku, bahkan aku dan ibu tiriku sepakat melupakan kejadian sial itu untuk selama-lamanya.
Kini aku hidup tenang serumah dengan ibu tiriku, sebagaimana layaknya suami istri, ibu tiriku tidak sungkan-sungkan lagi mengatakan kepadaku kalau dirinya sangat puas dengan keperkasaanku, bahkan hampir tiap hari aku di buatkan ramuan-ramuan khusus agar lebih jantan lagi saat bersetubuh dengannya.

Tidak kurang dari lima kali dalam sehari aku dan ibu tiriku bersetubuh. Kunikmati terus tubuh ibu tiriku setiap saat aku mau, diapun sangat menikmatinya. Hari demi hari penuh dengan fantasi dalam kehidupan sex aku dengan ibu tiriku, dari mulai yang normal-normal saja sampai dengan hal yang aneh-aneh pun kami lakukan atas kesepakatan berdua demi kepuasanku dan ibu tiriku tentunya.

Setelah dua tahun kami tinggal bersama, ibu tiriku hamil, dia mengandung anak dari benihku, aku dan ibu tiriku sepakat untuk tidak menggugurkan kandungan itu, dan akan merawat anak tersebut dengan baik.
Sembilan bulan berikutnya anakku dari ibu tiriku itupun lahir di sebuah kota yang kuanggap aman dari pandangan orang-orang yang mengenaliku, seorang bayi perempuan normal yang mungil dan kuberi nama Adinda, kamipun menyambut gembira kelahirannya.

Kini Adinda telah menjadi seorang gadis jelita yang berusia sepuluh tahun, dan kami tetap untuk merahasiakan semuanya sampai kapanpun, sampai akhir khayatku bila perlu.