Burung Kecil Obat
Awet Muda-2
Burung Kecil Obat Awet Muda-2
Bersama Ponidi, aku sudah bercirita. Kini Ponidi sudah memproduksi sperma. Aku tak tahu apakah Sperma itu hasil karbitan atau tidak. Setidaknya dia sudah bisa berproduksi dan dia sudah menjadi anak dewasa dalam arti kata, dia sudah mengerti betapa nikmatnya hubungan seksual.
Dua hari lalu, dari sebuah desa, aku punya pelanggan. Dia datang membawa sepeda motornya. Seperti biasa, dia memilih batik untuk didagangkan ke desa-desa lainnya secara angsuran. Dia juga mengambil barang dagangannya berupa batik dariku dengan cicilan. Entah kenapa dagangannya semakin maju. Katanya dia ingin menyekolahkan anaknya di Pekalongan ini. Lalu kutawarkan untuk tinggal bersamaku, sembari bantu-bantu di rumah dan di gudang pembantikan. AYah Herman setuju. Herman juga nampaknya senang. Jadilah Herman tinggal di rumahku.
Usianya dua tahunlebih muda dari Ponidi. Kini Ponisi sudah lulus SD dan Herman masih kelas 5 dan siap akan masuk sekolah SMP nantinya.
Tidak seperti Ponidi, Herman berkulit sedikit lebih gelap. Yang senang, sikapnya yang berani, tegas dan menatap mataku setiap kali berbicara. Walau masih kecil, sudah terlihat otot-otot kecilnya yang perkasa. Ponisi selain sekolah di desanya, juga ngangon kaming dan ikut membantu simboknya di ladang, mencangkul. Kerja kerasnya, membuatnya jadi sigap dan kuat.
Kutempatkan di tiodur di lantai atas, bersebelahan dengan kamar tidurku. Sedang Ponidi tetap tidur sekamar denga simboknya di lantai bawah dekat dapur.. Suamiku juga senang melihat kecekatannya bekerja. Ketika suamiku pulang ke rumah dari rumah isteri tuanya, dia melihat Herman rajin mengangkati kain-kain yang akan dibatik.
"Anak ini orang rajin dan tangkas," kata suamiki. Tak salah kau memilihnya bekerja di sini dan menyekolahkannya, sambungnya pula. Aku hanya tersenyum saja. Dalam hati aku berkata, Heman akan mengisi waktu-waktuku, jika kau tidak ada di rumah sumaiku tersayang.
Aku masih ingat, hari itu hari minggu. Ponisi dan simboknya pergi pulang ke desanya menghadiri perkawinan keponakannya.
Ketika aku keluar kamar dengan daster longgar ku, aku melihat Herman baru siap mandi. Dia keluar dari kamar mandi dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Sedangkan dadana terbuka. Rambutnya masih basah, lalu dia masuk ke dalam kamarnya. AKu ikuti dia masuk ke dalam kamarnya.
"Baru mandi, Her?"
"Iya bu. Maaf terlambat bangun. Tadi malam aku keletihan menyusun kain di dugang," jawabnya. Tanpa malu, dia mengambil kolornya dan memakainya di depanku. Dasar anak kecil, pikirku. Atau mungkin dia selalu melakukan hal itu di depan ibuna di kampung sama.
Kubantu dia memakai kolornya. Ku lepas handuknya dan menaikan kolornya. Saat itu aku melihat anu-nya yang masih mengecil. Berkisar sebesar jari tangahku.
"Kamu sudah lama sunat," tanyaku sembari memegang anunya itu. Dengan tenang dia menjawab;" Bulan lalu, waktu libur, bu."
Setelah kolor itu terpakai, aku berdiri dari jengkokku dan membelai rambutnya, lalu memeluknya seraya mengelus-elus punggungnya.
"Udah, kamu pakai kolor saja. Nanti pakai baju," kataku. Herman menatap dan dia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Lalu kuarahkan kedua tangannya untuk memeluk tubuhku. Dia memeluknya dengan erat, pelukan kasih sayang.
Perlahan, Herman kutuntun ke tempat tidurnya, sembari aku mengunci pintu.
Inilah saatnya yang paling tepat, bisik hatiku. Entah kenapa, setelah aku siap mandi, aku hanya mengenakan daster tipis, tanpa bra dan celana dalam. SUdah 15 hari musim kemarau mulai. Di mana-mana terasa gerah sekali. Tak salah, kalau hari minggu, sampai siang waktu turun melihat para karyawanku bekerja, aku boleh berleha-leha memanjakan diriku, pikirku.
Aku duduk di tempat tidur Herman berukuran 3 kaki. Herman berdiri di hadapanku di antara kedua kakiku. Perlahan kembali kuelus-elus kepalanya dengan tangan kananku dan tangan kiriku memeluk tubuhnya sembari mengelus punggungnya yang telanjang itu. Kurebahkan kepalanya ke dadaku. Kini lehernya kuelus dengan lembut sekali. Aku dapat merasakan, kalau Herman menikmatinya. Perlahan, kucium pipi kirinya, sementara tanganku terus mengelus punggung dan kepalanya tanpa henti.
"Aku harus sabar," pikirku.
Kalau Ponidi selalu mengikuti apa yang kukatakan, karena posisinya anak seorang pembantu. Herman seorang laki-laki yang bakal menjadi seorang laki-lalki perkasa dalam banyak hal, termasuk dalam hal seks.
Kembali kucium pipinya, sembari mengelus pantatnya. Aku merasakan, pelukannya semakin kuat. Hah...ia benar-benar sudah menikmatinya, pikriku. Aku gembira sekali. Pasti hari ini juga aku mampu menjadikannya Ponidi ke dua pikirku pula.
Kuangkat kepalanya, lalu kukecup bibirnya perlahan. Tidak seperti Ponidi yang sangat kaku pada mulanya, bahkan sempat mengelak saat bibirnya kucium. Aku masih ingat, ketika pertama kali mencium bibir Ponidi, dia sempat melap bibirnya dengan telapak tangannya. Mungkin ketika itu Ponidi sangat terkejut dan jijik. Lain halnya dengan Herman, yang tetap tenang.
"Ah...anak ini bermental baja," pikirku pula.
Aku semakin bersemangat mengisap bibir mungil itu. Sekali yang bawah, sekali pula yang sebelah atas. Lalu kubisikkan kepadanya; "Her, keluarkan lidahmu, biar ibu emut..."
Tanpa tunggu beberapa detik, saat itu juga herman mengjulurkan lidah mungilnya. Uh....lembut sekali lidah itu. AKu mengulum dan mengemutnya perlahan ddan lembut. Aku melihat Herman memajamkan matanya. Hatiku bersorak. Herman benar-benar mampu menikmatinya, batinku.
Gantian kujulurkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Herman tidak bereaksi. AKu mempermainkan lidahku di dalam rongga mulutnya, sampai sesekali aku mencapai langit-langitnya. Saat itu, Herman langsung mengisap lidahku dalam sekali sampai aku merasakan lidahku sakit dihisap sampai jauh. Yang membuatku semakin bahagia, pelukan Herman semakin erat.
Perlahan, sapuan tanganku di pantatnya, kukurangi, lalu tanganku masuk ke dalam kolornya. Aku menarik kolornya ke bawah perlahan-lahan. Setelah tiba di lutut kakinya, dengan kakiku aku meneruskan melorotkan kolor Herman ke bawah, sampai dia sendiri mengangkat kakinya bergantian, agar kolor itu lepas dari dirinya. Di hadapanku, kini Herman sudah telanjang bulan. Ah...sungguh tidak adil, pikirku. Dengan cepat kuangkat dasterku dan membukanya, lalu mencampakkannya ke lantai. Kami berdua sudah telanjang bulat. Begitu cepatnya. Aku begitu bangga pada Herman.
Da;lam sama-sama telanjang, aku memeluk Heran. Dia masih dalam posisi berdiri dan aku duduk di tempat tidurnya. Kuarahkan mulutnya ke puting susuku. Antara aku dan Herman tidka banyak berbicara. Tidak seperti Ponidi, selalu harus disuruh begini dan begitu.
Ponidi, tolong isep puting susu ibu....atau Ponidi, kamu peluk ibu dan seterusnya. Sedangkan Herman, aku cukup hanya memberi isyarat saja, dia langsung melakukannya.
Walau Herman lebih muda dua atau tiga tahun dari Ponidi, tapi tubuhnya jauh lebih kekar dan sehat, serta tingginya sama. Herman berkulit gelap dan Ponidi berkulit putih mulut.
Kuangkat tubu Herman dalam pangkuanku. Kedua kakinya mengangkangi kedua pahaku. Pantatnya terduduk persis di atas rambut-rambut paginaku.
Kuarahkan lagi mulut Herman ke puting susuku yang sebelahnya. Herman langsung mengerjakan apa yang kumaui. Dia menghisap puting susuku, sedang tangannya kuarahkan untuk meremas dan mengelus susuku yang lain. Semua dilakukannya dengan sempurna.
Ah...begitu sempurnanya Herman. Begitu cepatnya dia mengerti. Aku sendiri tak habis pikir, kenapa anak seusia dia, bisa begitu cepat. Kembali aku mengingat apa yang pernah diucapkan oleh sahabatku. Sejak bayi, anak sudah membutuhkan seks. Mulai dari elusan, ciuman kasih sayang, pasti dinikmati. Itu yang dinakaman seks kedua atau Scound sex. Oh...aku mulai horny. Aku juga sudah merasakan ada yang bergerak-gerak di sekitar bagian bawah perutku. Yah...ternyata burung kecil itu sudah mengeras. Seperti ayam jago kecil yang belajar berkokok.
Dengan masih memeluk Herman dengan erat, kurebahkan diriku ke atas kasur tempat tidurnya. Kini Herman berada di atasku. Dengan cepat puila, kubalikkan tubuhnya. Kini dia berada di bawahku dan aku berada di atas tubuhnya. Kuciumi pipinya, lehernya. Lalu leher itu mulai kujilati. Turun ke dadanya dan mengisap-isap perlahan puting sususnya, kiri dan kanan. Lalu turun ke purutnya. Aku merasakan Herman menggelinjang.
Kuputar lidahku beberapa kali di pusarnya. Lalu turun ke perut dibawah pusarnya, Lalu aku menangkap burung kecil yang mulai mengeras dan sudah membesar hampir sebesar jempol kakiku. Perlahan kujilati kepala burung yang baru "disembelih" kulitnya. Herman memejamkan matanya. Tangannya mulai meraba-raba seprei tempat tidurnya. Melihat gelagat itu, aku segera mengerti. Aku tak mau kehilangan momen.
Dengan cepat aku mengangkangi tubuhnya dan mengarahkan burung kecil itu memasuki sarangnya, paginaku. Belas, begitu mudahnya burung kecil itu masuk kandang atau sarangnya. Setelah semua amblas, aku menindih Herman kemudian membalikkan posisi. Kini poisisi Herman berada di atasku.
Aku mengangkat kedua kakiku setingi-tingginya ke atas, atas burung kecil itu tak sampai terlepas dari kandangnya.
Aku memaju mundurkan tubuhnya. Kutekan-tekan pantatnya maju dan mundur. Oh...hanya tiga aku melakukannya, Herma sudah mengetahui apa yang aku maui. Nalurinya begityu tajam, atau itu memang sebuah refleksi. AKu merasakan Herman mulai memompa pantatnya, naik turun.
Aku melepaskan pantatnya. Toh, Herman sudah melakukannya, memompa sendiri.
Dan...ah, aku memeluknya erat sekali. Aku orgasme. Begitu cepatnya kuorgasme. Seeeerrr...seeer.......seeeeeeeerrrrr, aku keluar. Herman masih terus memompaku.
"Bu, aku mau kenciiiing...."katanya. Dengan cepat kuraih bantal lalu mengganjal pantatku dengan bantal. Herman memelukku semakin erat. Aku merasakan pelukan itu begitu eratnya. Erat sekali... Herman mengejang dan seeeeeeeeeerrrrrrrr. Yah...burung itu pipis di dalam kandangnya. Dengan cepat kurapatkan kedua kakiku. Dan....tak lama kemudian, burung kecil itu semakin kecil dan keluar dari kandangnya. Tak kuijinkan dia turun dari tubuhku. AKu masih menginginkan kehangatan tubuh kecil kecil. Jauhg sekali bedanya, kenikmatan disetubuhi oleh orang dewasa dengan disetubuhi Herman dan Ponidi. Setelah dua menit, perlahan kurebahkan tubuh Herman di sampingku. Aku menutup lubang paginaku dengan tanganku dan berlari ke makar mandi. Belum sampai di kamar mandi, pipis Hemran sudah menetes-netes di lantai. Hingga di kamar mandi, tinggal beberapa tetes lagi. Ini sebuah kealpaanku. Kenapa aku tidak membawa baskom atau ember kecil saja ke dalam kamar. Yah...namanya, semua dala keadaan buru-buru tanpa, rencana. Tapi utuk selanjutnya, aku akan siapkan, batinku.
Setelah menyiram dan membersihkan paginaku, aku kembali ke kamar Herman, membawa handuk untuk mengelap semua ceceran puipisnya Herman, sampai bersih.
Kulihat Herman masih rebahan di tempat tidurnya, ketika aku memakai dasterku.
"Bu..."
"Kamu tak apa-apa, kan Herman. Ibu sayang pada kamu. Ini rahasia kita berdua, ya. Enggak boleh bilang kepada siapa-siapa, ya,"
"iya, bu." Begitu tegasnya ucapan herman. Kugedong dia ke kamar mandi, lalu kubersihkan burung kecil itu dengan sabun, kulap pakai handuk, lalu kembali kugendong ke kamar. Pintu kembali kukunci. Aku merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan aku rebaghan di sisi Herman. Kupeluk dia dengan kasih sayng dan mengelus-elus kepalanya.
"Kamu laki-laki hebat, Her. Percayalah apa yang ibu katakan, "kataku.
Ketika aku mau melayang dalam tidurku, aku merasakan sesuatu di puting susuku. Ah...nikmatnya. Ternyata Herman sedang mempermainkan puting susuku dengan mulutnya. Teruskan, sayang, kataku berbisik di telinganya sambil membelai rambutnya.
"Kamu hebat...."Kataku lagi memuji. Herman ternyata haus pujian. Dia meneruskan mainannya. Ketika Tangannya meraba rambut paginaku, ternyata dia senang dengan mainannya yang kedua ini. AKu sengaja mengangkat sebelah kakiku dan menuntun jarinya agar memasuki lubang paginaku. Oh...saat jari kecil itu menyentuh-nyentuh klentit-ku, aku merasakan ada arus listrik halus, sampai ke ubun-ubunku.
"Teruskan sayang. ibu merasa enak lho..."
Kami hanya setengah jam istirahat, kini kami sudah kembali melakukan saling raba. Herman ternyata sudah mampu melakukan tugasnya semakin sempurna.
Aku meraba-raba burung kecil itu. Tak lama. Sebentar saja burung kecil itu sudah berdiri. Kini kembali aku menjilati burung kecil itu. Dengan liurku, burung kecil itu semakin tegak.
Ku angkat Herman berada di atas tubuhku. Kukangkangkan kakiku selebarnya dan Herman kuminta duduk di antara pantatku. Kutuntun burung itu memasuki sarangnya yang kedua, anusku.
"Ayo Her, masukin...." pintaku. Herman menekan burungnya. Lagi-lagi aku kelupaan mengolesinya dengan lotion.
Aku merasakan Herman memaksakan burung kecdil itu memasuki anusku. Ataukah mungkin karena aku terlentang, hingga Herman sulit memasukkan burungnya. Ah...aku sudah merasakan kepala burung itu sudah meulai menembus masuk. Dan...nambah lagi dan lagi. Kini semua kepala burung itu sudah amblas. Ternyata rasa enak berbeda, ketika burung itu memasuki anus dengan olesan lotion dan tanpa lotion. Kali ini, terasa lebih kesat dan gesekannya lebih terasa.
Ketika Herman memaju mundurkan burungnya di anusku, aku merasa-raba klentitku. Terasa suaraf-syaraf paginaku begitu berinterkasi dengan anusku. Aku tak menghitung berapa puluh kali Herman memaju mundurkan burungnya itu. Kini aku hampir sampai pada puncak. Semakin kencang aku mengelus-elus jariku ke klentitku. Sementara Heman semakin kencang memaju mundurkan burungnya. Dia memelouk erat kedua pahaku yang kini duah berada di kedua pundaknya.
"Terus....Heeeeerrr" pintaku.
"Iya, bu. Herman udah mau kenciiiing," katanya sembari terus memeomta burungnya semakin kencang.
Terus...Herrrrr" pintaku lagi. Herman tak menjawab dan terus memompaku. Dan...seeeerrrr.....seeeer...seeerrrrrrr, aku keluar. Terasa bibir paginaku basah oleh cairan yang keluar dari paginaku. Herman terus memompa burungnya tanpa henti. Aku melihatnya mulai berkeringat. Lalu tiba-tiba dia berhenti memompa dan terasa olehku, pipisnya begitu panas dalam rongga anusku. Lalu Herman merebahkan tubuhnya di atasku, keletihan. Langsung dia kupeluk dan kubelai. Burung kecilku yang perkasa.
Kini, tidak hanya aku yang meminta setelah kejadian itu. Bila Heman pulang sekolah, dia mengatakan:" Bu, Herman mau pipis di kamar. Burung Herman sudah mau pipis, bu.
Biasanya, kalau tak diberi, Herman selalu merengek. AKu selalu takut didengar orang lain. Bila itu sudah terjadi, Aku langsung mengajaknya ke kamar mandiku. Kududukkan dia di lantai setelah membuka celananya. Hanya celana. Demikian juga aku. Lalu aku mengangkangi tubuhnya dan memasukkan burungnya ke paginaku sampai dia kencing. Sering sekali aku tak merasakan orgasme, untuk memuaskan Herman. Tapi bia keadaan sepi, kami akan melakukannya dengan sangat indah.
Agar Ponidi tak curiga, aku selalu juga bersama ponidi. Menghisap sperma mudanya dan bersetubuh di kamar, saat Herman sekoloah. Aku senga, membuat Ponidi sekolah pagi di SMP dan Herman sekolah Sore di Sd. Alasanku biar mereka bergantian menolongi aku. Sebenarnya, aku tak ingin keduanya bertemu terlalu lama dan berbincang.
Bersama Ponidi, aku sudah bercirita. Kini Ponidi sudah memproduksi sperma. Aku tak tahu apakah Sperma itu hasil karbitan atau tidak. Setidaknya dia sudah bisa berproduksi dan dia sudah menjadi anak dewasa dalam arti kata, dia sudah mengerti betapa nikmatnya hubungan seksual.
Dua hari lalu, dari sebuah desa, aku punya pelanggan. Dia datang membawa sepeda motornya. Seperti biasa, dia memilih batik untuk didagangkan ke desa-desa lainnya secara angsuran. Dia juga mengambil barang dagangannya berupa batik dariku dengan cicilan. Entah kenapa dagangannya semakin maju. Katanya dia ingin menyekolahkan anaknya di Pekalongan ini. Lalu kutawarkan untuk tinggal bersamaku, sembari bantu-bantu di rumah dan di gudang pembantikan. AYah Herman setuju. Herman juga nampaknya senang. Jadilah Herman tinggal di rumahku.
Usianya dua tahunlebih muda dari Ponidi. Kini Ponisi sudah lulus SD dan Herman masih kelas 5 dan siap akan masuk sekolah SMP nantinya.
Tidak seperti Ponidi, Herman berkulit sedikit lebih gelap. Yang senang, sikapnya yang berani, tegas dan menatap mataku setiap kali berbicara. Walau masih kecil, sudah terlihat otot-otot kecilnya yang perkasa. Ponisi selain sekolah di desanya, juga ngangon kaming dan ikut membantu simboknya di ladang, mencangkul. Kerja kerasnya, membuatnya jadi sigap dan kuat.
Kutempatkan di tiodur di lantai atas, bersebelahan dengan kamar tidurku. Sedang Ponidi tetap tidur sekamar denga simboknya di lantai bawah dekat dapur.. Suamiku juga senang melihat kecekatannya bekerja. Ketika suamiku pulang ke rumah dari rumah isteri tuanya, dia melihat Herman rajin mengangkati kain-kain yang akan dibatik.
"Anak ini orang rajin dan tangkas," kata suamiki. Tak salah kau memilihnya bekerja di sini dan menyekolahkannya, sambungnya pula. Aku hanya tersenyum saja. Dalam hati aku berkata, Heman akan mengisi waktu-waktuku, jika kau tidak ada di rumah sumaiku tersayang.
Aku masih ingat, hari itu hari minggu. Ponisi dan simboknya pergi pulang ke desanya menghadiri perkawinan keponakannya.
Ketika aku keluar kamar dengan daster longgar ku, aku melihat Herman baru siap mandi. Dia keluar dari kamar mandi dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Sedangkan dadana terbuka. Rambutnya masih basah, lalu dia masuk ke dalam kamarnya. AKu ikuti dia masuk ke dalam kamarnya.
"Baru mandi, Her?"
"Iya bu. Maaf terlambat bangun. Tadi malam aku keletihan menyusun kain di dugang," jawabnya. Tanpa malu, dia mengambil kolornya dan memakainya di depanku. Dasar anak kecil, pikirku. Atau mungkin dia selalu melakukan hal itu di depan ibuna di kampung sama.
Kubantu dia memakai kolornya. Ku lepas handuknya dan menaikan kolornya. Saat itu aku melihat anu-nya yang masih mengecil. Berkisar sebesar jari tangahku.
"Kamu sudah lama sunat," tanyaku sembari memegang anunya itu. Dengan tenang dia menjawab;" Bulan lalu, waktu libur, bu."
Setelah kolor itu terpakai, aku berdiri dari jengkokku dan membelai rambutnya, lalu memeluknya seraya mengelus-elus punggungnya.
"Udah, kamu pakai kolor saja. Nanti pakai baju," kataku. Herman menatap dan dia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Lalu kuarahkan kedua tangannya untuk memeluk tubuhku. Dia memeluknya dengan erat, pelukan kasih sayang.
Perlahan, Herman kutuntun ke tempat tidurnya, sembari aku mengunci pintu.
Inilah saatnya yang paling tepat, bisik hatiku. Entah kenapa, setelah aku siap mandi, aku hanya mengenakan daster tipis, tanpa bra dan celana dalam. SUdah 15 hari musim kemarau mulai. Di mana-mana terasa gerah sekali. Tak salah, kalau hari minggu, sampai siang waktu turun melihat para karyawanku bekerja, aku boleh berleha-leha memanjakan diriku, pikirku.
Aku duduk di tempat tidur Herman berukuran 3 kaki. Herman berdiri di hadapanku di antara kedua kakiku. Perlahan kembali kuelus-elus kepalanya dengan tangan kananku dan tangan kiriku memeluk tubuhnya sembari mengelus punggungnya yang telanjang itu. Kurebahkan kepalanya ke dadaku. Kini lehernya kuelus dengan lembut sekali. Aku dapat merasakan, kalau Herman menikmatinya. Perlahan, kucium pipi kirinya, sementara tanganku terus mengelus punggung dan kepalanya tanpa henti.
"Aku harus sabar," pikirku.
Kalau Ponidi selalu mengikuti apa yang kukatakan, karena posisinya anak seorang pembantu. Herman seorang laki-laki yang bakal menjadi seorang laki-lalki perkasa dalam banyak hal, termasuk dalam hal seks.
Kembali kucium pipinya, sembari mengelus pantatnya. Aku merasakan, pelukannya semakin kuat. Hah...ia benar-benar sudah menikmatinya, pikriku. Aku gembira sekali. Pasti hari ini juga aku mampu menjadikannya Ponidi ke dua pikirku pula.
Kuangkat kepalanya, lalu kukecup bibirnya perlahan. Tidak seperti Ponidi yang sangat kaku pada mulanya, bahkan sempat mengelak saat bibirnya kucium. Aku masih ingat, ketika pertama kali mencium bibir Ponidi, dia sempat melap bibirnya dengan telapak tangannya. Mungkin ketika itu Ponidi sangat terkejut dan jijik. Lain halnya dengan Herman, yang tetap tenang.
"Ah...anak ini bermental baja," pikirku pula.
Aku semakin bersemangat mengisap bibir mungil itu. Sekali yang bawah, sekali pula yang sebelah atas. Lalu kubisikkan kepadanya; "Her, keluarkan lidahmu, biar ibu emut..."
Tanpa tunggu beberapa detik, saat itu juga herman mengjulurkan lidah mungilnya. Uh....lembut sekali lidah itu. AKu mengulum dan mengemutnya perlahan ddan lembut. Aku melihat Herman memajamkan matanya. Hatiku bersorak. Herman benar-benar mampu menikmatinya, batinku.
Gantian kujulurkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Herman tidak bereaksi. AKu mempermainkan lidahku di dalam rongga mulutnya, sampai sesekali aku mencapai langit-langitnya. Saat itu, Herman langsung mengisap lidahku dalam sekali sampai aku merasakan lidahku sakit dihisap sampai jauh. Yang membuatku semakin bahagia, pelukan Herman semakin erat.
Perlahan, sapuan tanganku di pantatnya, kukurangi, lalu tanganku masuk ke dalam kolornya. Aku menarik kolornya ke bawah perlahan-lahan. Setelah tiba di lutut kakinya, dengan kakiku aku meneruskan melorotkan kolor Herman ke bawah, sampai dia sendiri mengangkat kakinya bergantian, agar kolor itu lepas dari dirinya. Di hadapanku, kini Herman sudah telanjang bulan. Ah...sungguh tidak adil, pikirku. Dengan cepat kuangkat dasterku dan membukanya, lalu mencampakkannya ke lantai. Kami berdua sudah telanjang bulat. Begitu cepatnya. Aku begitu bangga pada Herman.
Da;lam sama-sama telanjang, aku memeluk Heran. Dia masih dalam posisi berdiri dan aku duduk di tempat tidurnya. Kuarahkan mulutnya ke puting susuku. Antara aku dan Herman tidka banyak berbicara. Tidak seperti Ponidi, selalu harus disuruh begini dan begitu.
Ponidi, tolong isep puting susu ibu....atau Ponidi, kamu peluk ibu dan seterusnya. Sedangkan Herman, aku cukup hanya memberi isyarat saja, dia langsung melakukannya.
Walau Herman lebih muda dua atau tiga tahun dari Ponidi, tapi tubuhnya jauh lebih kekar dan sehat, serta tingginya sama. Herman berkulit gelap dan Ponidi berkulit putih mulut.
Kuangkat tubu Herman dalam pangkuanku. Kedua kakinya mengangkangi kedua pahaku. Pantatnya terduduk persis di atas rambut-rambut paginaku.
Kuarahkan lagi mulut Herman ke puting susuku yang sebelahnya. Herman langsung mengerjakan apa yang kumaui. Dia menghisap puting susuku, sedang tangannya kuarahkan untuk meremas dan mengelus susuku yang lain. Semua dilakukannya dengan sempurna.
Ah...begitu sempurnanya Herman. Begitu cepatnya dia mengerti. Aku sendiri tak habis pikir, kenapa anak seusia dia, bisa begitu cepat. Kembali aku mengingat apa yang pernah diucapkan oleh sahabatku. Sejak bayi, anak sudah membutuhkan seks. Mulai dari elusan, ciuman kasih sayang, pasti dinikmati. Itu yang dinakaman seks kedua atau Scound sex. Oh...aku mulai horny. Aku juga sudah merasakan ada yang bergerak-gerak di sekitar bagian bawah perutku. Yah...ternyata burung kecil itu sudah mengeras. Seperti ayam jago kecil yang belajar berkokok.
Dengan masih memeluk Herman dengan erat, kurebahkan diriku ke atas kasur tempat tidurnya. Kini Herman berada di atasku. Dengan cepat puila, kubalikkan tubuhnya. Kini dia berada di bawahku dan aku berada di atas tubuhnya. Kuciumi pipinya, lehernya. Lalu leher itu mulai kujilati. Turun ke dadanya dan mengisap-isap perlahan puting sususnya, kiri dan kanan. Lalu turun ke purutnya. Aku merasakan Herman menggelinjang.
Kuputar lidahku beberapa kali di pusarnya. Lalu turun ke perut dibawah pusarnya, Lalu aku menangkap burung kecil yang mulai mengeras dan sudah membesar hampir sebesar jempol kakiku. Perlahan kujilati kepala burung yang baru "disembelih" kulitnya. Herman memejamkan matanya. Tangannya mulai meraba-raba seprei tempat tidurnya. Melihat gelagat itu, aku segera mengerti. Aku tak mau kehilangan momen.
Dengan cepat aku mengangkangi tubuhnya dan mengarahkan burung kecil itu memasuki sarangnya, paginaku. Belas, begitu mudahnya burung kecil itu masuk kandang atau sarangnya. Setelah semua amblas, aku menindih Herman kemudian membalikkan posisi. Kini poisisi Herman berada di atasku.
Aku mengangkat kedua kakiku setingi-tingginya ke atas, atas burung kecil itu tak sampai terlepas dari kandangnya.
Aku memaju mundurkan tubuhnya. Kutekan-tekan pantatnya maju dan mundur. Oh...hanya tiga aku melakukannya, Herma sudah mengetahui apa yang aku maui. Nalurinya begityu tajam, atau itu memang sebuah refleksi. AKu merasakan Herman mulai memompa pantatnya, naik turun.
Aku melepaskan pantatnya. Toh, Herman sudah melakukannya, memompa sendiri.
Dan...ah, aku memeluknya erat sekali. Aku orgasme. Begitu cepatnya kuorgasme. Seeeerrr...seeer.......seeeeeeeerrrrr, aku keluar. Herman masih terus memompaku.
"Bu, aku mau kenciiiing...."katanya. Dengan cepat kuraih bantal lalu mengganjal pantatku dengan bantal. Herman memelukku semakin erat. Aku merasakan pelukan itu begitu eratnya. Erat sekali... Herman mengejang dan seeeeeeeeeerrrrrrrr. Yah...burung itu pipis di dalam kandangnya. Dengan cepat kurapatkan kedua kakiku. Dan....tak lama kemudian, burung kecil itu semakin kecil dan keluar dari kandangnya. Tak kuijinkan dia turun dari tubuhku. AKu masih menginginkan kehangatan tubuh kecil kecil. Jauhg sekali bedanya, kenikmatan disetubuhi oleh orang dewasa dengan disetubuhi Herman dan Ponidi. Setelah dua menit, perlahan kurebahkan tubuh Herman di sampingku. Aku menutup lubang paginaku dengan tanganku dan berlari ke makar mandi. Belum sampai di kamar mandi, pipis Hemran sudah menetes-netes di lantai. Hingga di kamar mandi, tinggal beberapa tetes lagi. Ini sebuah kealpaanku. Kenapa aku tidak membawa baskom atau ember kecil saja ke dalam kamar. Yah...namanya, semua dala keadaan buru-buru tanpa, rencana. Tapi utuk selanjutnya, aku akan siapkan, batinku.
Setelah menyiram dan membersihkan paginaku, aku kembali ke kamar Herman, membawa handuk untuk mengelap semua ceceran puipisnya Herman, sampai bersih.
Kulihat Herman masih rebahan di tempat tidurnya, ketika aku memakai dasterku.
"Bu..."
"Kamu tak apa-apa, kan Herman. Ibu sayang pada kamu. Ini rahasia kita berdua, ya. Enggak boleh bilang kepada siapa-siapa, ya,"
"iya, bu." Begitu tegasnya ucapan herman. Kugedong dia ke kamar mandi, lalu kubersihkan burung kecil itu dengan sabun, kulap pakai handuk, lalu kembali kugendong ke kamar. Pintu kembali kukunci. Aku merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan aku rebaghan di sisi Herman. Kupeluk dia dengan kasih sayng dan mengelus-elus kepalanya.
"Kamu laki-laki hebat, Her. Percayalah apa yang ibu katakan, "kataku.
Ketika aku mau melayang dalam tidurku, aku merasakan sesuatu di puting susuku. Ah...nikmatnya. Ternyata Herman sedang mempermainkan puting susuku dengan mulutnya. Teruskan, sayang, kataku berbisik di telinganya sambil membelai rambutnya.
"Kamu hebat...."Kataku lagi memuji. Herman ternyata haus pujian. Dia meneruskan mainannya. Ketika Tangannya meraba rambut paginaku, ternyata dia senang dengan mainannya yang kedua ini. AKu sengaja mengangkat sebelah kakiku dan menuntun jarinya agar memasuki lubang paginaku. Oh...saat jari kecil itu menyentuh-nyentuh klentit-ku, aku merasakan ada arus listrik halus, sampai ke ubun-ubunku.
"Teruskan sayang. ibu merasa enak lho..."
Kami hanya setengah jam istirahat, kini kami sudah kembali melakukan saling raba. Herman ternyata sudah mampu melakukan tugasnya semakin sempurna.
Aku meraba-raba burung kecil itu. Tak lama. Sebentar saja burung kecil itu sudah berdiri. Kini kembali aku menjilati burung kecil itu. Dengan liurku, burung kecil itu semakin tegak.
Ku angkat Herman berada di atas tubuhku. Kukangkangkan kakiku selebarnya dan Herman kuminta duduk di antara pantatku. Kutuntun burung itu memasuki sarangnya yang kedua, anusku.
"Ayo Her, masukin...." pintaku. Herman menekan burungnya. Lagi-lagi aku kelupaan mengolesinya dengan lotion.
Aku merasakan Herman memaksakan burung kecdil itu memasuki anusku. Ataukah mungkin karena aku terlentang, hingga Herman sulit memasukkan burungnya. Ah...aku sudah merasakan kepala burung itu sudah meulai menembus masuk. Dan...nambah lagi dan lagi. Kini semua kepala burung itu sudah amblas. Ternyata rasa enak berbeda, ketika burung itu memasuki anus dengan olesan lotion dan tanpa lotion. Kali ini, terasa lebih kesat dan gesekannya lebih terasa.
Ketika Herman memaju mundurkan burungnya di anusku, aku merasa-raba klentitku. Terasa suaraf-syaraf paginaku begitu berinterkasi dengan anusku. Aku tak menghitung berapa puluh kali Herman memaju mundurkan burungnya itu. Kini aku hampir sampai pada puncak. Semakin kencang aku mengelus-elus jariku ke klentitku. Sementara Heman semakin kencang memaju mundurkan burungnya. Dia memelouk erat kedua pahaku yang kini duah berada di kedua pundaknya.
"Terus....Heeeeerrr" pintaku.
"Iya, bu. Herman udah mau kenciiiing," katanya sembari terus memeomta burungnya semakin kencang.
Terus...Herrrrr" pintaku lagi. Herman tak menjawab dan terus memompaku. Dan...seeeerrrr.....seeeer...seeerrrrrrr, aku keluar. Terasa bibir paginaku basah oleh cairan yang keluar dari paginaku. Herman terus memompa burungnya tanpa henti. Aku melihatnya mulai berkeringat. Lalu tiba-tiba dia berhenti memompa dan terasa olehku, pipisnya begitu panas dalam rongga anusku. Lalu Herman merebahkan tubuhnya di atasku, keletihan. Langsung dia kupeluk dan kubelai. Burung kecilku yang perkasa.
Kini, tidak hanya aku yang meminta setelah kejadian itu. Bila Heman pulang sekolah, dia mengatakan:" Bu, Herman mau pipis di kamar. Burung Herman sudah mau pipis, bu.
Biasanya, kalau tak diberi, Herman selalu merengek. AKu selalu takut didengar orang lain. Bila itu sudah terjadi, Aku langsung mengajaknya ke kamar mandiku. Kududukkan dia di lantai setelah membuka celananya. Hanya celana. Demikian juga aku. Lalu aku mengangkangi tubuhnya dan memasukkan burungnya ke paginaku sampai dia kencing. Sering sekali aku tak merasakan orgasme, untuk memuaskan Herman. Tapi bia keadaan sepi, kami akan melakukannya dengan sangat indah.
Agar Ponidi tak curiga, aku selalu juga bersama ponidi. Menghisap sperma mudanya dan bersetubuh di kamar, saat Herman sekoloah. Aku senga, membuat Ponidi sekolah pagi di SMP dan Herman sekolah Sore di Sd. Alasanku biar mereka bergantian menolongi aku. Sebenarnya, aku tak ingin keduanya bertemu terlalu lama dan berbincang.