Burung kecil obat
awet muda
Burung Kecil Obat Awet Muda
Kini aku berusia 37 tahun. Aku adalah stri kedua dari seorang pengusaha batik terkenal di pekalongan. Sebelumnya, perkenalkan namaku Mira. Aku tinggal di sebuah ibukota kecamatan dan mengelola sebuah usaha kecil yang diberikan suamiku, yakni pembuatan batik. Setiap hari tidak kurang 12 orang pembatik datang ke rumahku. di Belakang rumah, tersedia sebuah ruangan semecam gudang tempat para karyawanku membatik. Kerjanya mereka borongan. Setiap selesai satu batik dengan motif yang sudah ditentukan, mereka akan kubayarkan upah mereka.
Entah kenapa, pada siang yang sedang sepi pekerjaan, aku teringat percakapanku dengan teman bekas sama-sama D3 di sebuah perguruan tinggiku ketika aku masih menjadi mahasiswa. Menurut temanku itu, ternyata urine dari burung-burung kecil, mampu membuat kita langsing. Selain kita terpuaskan akan kebutuhan libido, juga membuat kita jadi sehat. Mulanya aku tak percaya. Tapi setelah kualami sendiri, aku mendapatkan manfaat yang luar biasa. Begini ceritanya.
Suamiku sering pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Selian bisnis batik, suamiku memiliki bisnis lain, seperti dagang pupuk dan pestisida serta peralatan pertanian.
Hari itu minggu. Para pekerja libur. Pembantuku Ponirah pun sedang ke kampung. Di rumah hanya aku dan Ponidi, Ponidi adalah anaknya seorangj anda yang ditinggal mati oleh suaminya. Ponidi menurutku seorang yang pintar, hingga dia harus meneruskan pendidikannya. Karean Ponirah tak mampu, maka Ponirah harus tinggal di rumahku sebagai pembantu dengan gaji yang lumayan dan anaknya mendapatkan pendiikan dariku.
Aku mendekati Ponidi yang berusia 11 tahun. Beberapa kali dia kulihat suka memainkan "burugnya". Pasti anak ini sedang memainkan imajinasinya, pikirku.
Ponisi yang kurus, berkulit bersih dan rajin itu, kupanggil. Dia datang, lalu kusuruh dia mandi. Setelah mandi bersih, aku memeluknya dengan kasih sayang. Dia memang butuh kasih sayang, karena ibunya yang pembantu, terlalu sibuk dengan pekerjaannya, hingga jarang punya waktu memperhatikan dirinya. Ponidi kini sekolah kelas 5 SD. Aku yang mebiayai, mulai dari uang sekolahnya, sampai pakaian dan segala sesuatunya. Ponidi menjadi tanggunganku. Itu sebabnya dia begitu patuh dan hormat kepadaku.
Aku mencium pipinya dan membelai rambutnya. Hitung-hitung, aku bisa melampiaskan kasih sayangku pada anak bungsuku yang kini tinggal bersama neneknya dalam kemanjaannya. Anakku yang dua lagi sekolah di Jakarta dan Bandung.
Perlahan, kuelus burungnya yang kecil. Kulihat Ponidi diam saja tanpa berani berontak. Lma kelamaan, Poniri pun memejamkan matanya. Dengan cepat dia kubopong ke tempat tidurku.
"Tunggu di sini," ujarku. Dia diam. Aku cepat ke kamar mandi dan membuka CD ku. Kini aku tinggal memakai daster longgar tanpa CD dan BH. Aku tak lupa membawa lotion dari kamar mandi. Kudetakti Ponidi. Perlahan kubuka celananya. Kulihat, burung kecil itu sudah tegak berdiri. Aku mengelusnya dengan lotion. Ketika burung itu semakin tegak bagaikan tiang bendera yang siap tempur, aku mengangkangi tubuhnya dan mengarahkan burung itu ke paginaku, lalu menindihnya dari atas. Kumasukkan burung kecil itu ke sangkarnya, paginaku.
Setelah semuanya amblas, Aku memeluknya, menindihnya, dan menicum bibirnya. Lalu dengan cepat, kubaliknya tubuhku. Kini Ponidi berada di atas tubuhku dan menindihkku. Tak begitu sulit bagiku membalikkan tubuhnya agar berada di atas. Aku menaksir, berat tubuhnya berkisat 18 Kg.
Saat dia berada di atas tubuhku, aku mengganjal pantatku dengan bantal yang ada di kepalaku. Kini paginaku mencuat ke atas. Secara alami, kurasakan Ponidi mulai memompa paginaku. Aku mengepit pantatnya dengan kedua kakiku, sembari mengelus-elus punggungnya dengan kasih sayang.
Tak, lama Ponisi mengejang. Dan seeeeerrrrr. Aku merasakan betapa hangatnya, urine yang keluar dari burung kecilku itu. Justru ini yang kucari. Bukan sperma. Aku merasakan betapa hangatnya ruang paginaku. Hangat sekali. Kupererat kedua kakiku menjepit tubuh Ponidi. Aku tahu, kalau Ponidi sedikit merasa sakit atas jepitanku. Dia diam saja, tak berani melawan. Dia anak ecil yang terlalu baik dan pintar serta sangat kumanjakan selama ini dengan kasih sayang. Burung kecil itupun semakin mengecil. Perlahan kulepaskan jepitan kakiku ke tubuhnya. Dengan perlahan kukesampingkan tubuhnya ke sisi kiriku. Sementara Urine, Masih saja memenuhi rongga paginaku.
Setelah 5 menit, urine itu berada dalam rongga paginaku, lubang paginaku sengaja ditutup pakai telapak tanganku dan aku pergi ke kamar mandi. Tetesan urine itu tetap saja tercecer dari sela-sela jariku. Dan...urine itu tertumpah setelah di kamar mandi, saat aku melepaskan tanganku dari paginaku.
Di lantai keramik putih bersih, aku melihat urine itu, tertumpah. Warnanya kekuning-kuningan. Urine, seperti di lumuri minyak goreng Bimoli. Berkilat-kilat. Mungkin itulah lemak yang lepas dari rongga paginaku.
Setelah membersihkan paginaku, aku kembali ke kamar. Kutemukan Ponidi sedang telentang berselimut. Kucium pipinya dengan kasih sayang. Aku menyuruhnya segera membersihkan dirinya ke kamar mandi, sedang aku membersihkan tempat tdiur yang tertumpah uriine.
Setelah makan siang, aku mengajak Ponidi ke lantas atas rumahku. Di lantai atas ada teras yang luas. Kubentangkan ambal mini yang sudah usang dan tak dipakai lagi, namun masih sangat bersih. Aku membawa bantal dan lotion.
"Seperti tadi lagi, bu?" Ponidi bertanya lugu. Ah...ini anak sudah menemukan rasa nikmatnya, pikirku.
"Ya...tapi cara yang lain, kataku. Kamu harus mau ya, nanti ibu kasi uang jajan dan kita ke pasar beli baju baru. Asal kau tidak bilang kepada siapa saja, termasuk kepada simbokmu," kataku.
Mendengar uang jajan dan baju baru, dia mengangguk tanda setuju dan riang.
Aku mulai mencium pipinya. Lalu aku menicum bibirnya. Mulanya dia merasa risih, mendapat ciuman dari bibirku. Aku harus bersabar mengajarinya, bagaimana cara berciuman bibir. Kuulurkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Dia menolak. Aku tahu dia belum pernah melakukan itu.
"Kamu julurkan lidahmu, Pon, biar ibu emut. Pasti enak ," kataku. Dengan sungkan dia mulai menjulurkan lidahnya dan aku menghisapnya perlahan-lahan. Oh...betapa nikmatnya lidah mungil itu. Kemudian gantian aku menjulurkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Perlahan dia mulai mengisapnya. Aku terus mengelus kepalanya dengan tangan kananku, sementara tangan kriiku mengelus punggungnya. Aku duduk bersila. Ponidi duduk mengangkangi pahaku. Aku membopongnya. Setelah puas mencium dan mengulum bibirnya yang mungil itu, aku membuka dasterku dan semuanya, hingga aku benar-benar bugil. Kubuka juga seluruh pakaian Ponisi, hingga dia juga benar-benar bugil. Aku kembali duduk besila di lantai. Kuminta Ponidi menduduki kedua pahaku. Kini, kuarahkan Ponidi mengisap payudaraku. Aku mulai merasakan, Ponidi mendekap tubuhku dengan erat. Dia sudah mulai mendapatkan kenikmatan, pikirku. Setelah payudaraku sebelah kiri sedikit terasa kebas diemut, Kuarahkan mulutnya untuk mengemut puting tetekku sebelah lagi. AKuterus mengelus-elus kepalanya dengan kasih sayang dan mengelus punggungnya juga.
Kini aku merebahkan diri di lantai, beralas ambal mini bersama Ponidi. Perlahan kuelus burung itu dengan jariku sampai tegak berdiri. AKu memasukkannya ke dalam mulutku dan mulai kujilati burung kecil. Ukurannya berkisar sebesar jempol kaki orang dewasa ketika tegak berdiri. Setelah yakin burung itu demikian tagak, aku melumasinya dengan lotion, sesuai petunjuk temanku. Lalu aku menungging. Kusuruh Ponidi berlutut persis di belakang dekat anusku. Kutuntun burung berlumur lotion itu memasuki sarang keduanya, yakni anusku. Setelah yakin kepala burung itu menempel di lubang anusku...
"Ayo tekan, Pon" kataku. Ponidi mengikuti permintaanku yang bernada perintah itu.
Burung Pipit berlumur lotion itu dengan tangan kiriku, terus dalam jepitan jari jempol, telunjuk dan jari tengah tanganku mengarahkan ke anusku. Setelah aku yakin kepala burung kecil itu menempel di anusku, kusuruh dia menekan burungnya itu untuk menembus lubang anusku. Aku mulai merasakan burung kecil itu, perlahan menembus anusku. Terasa geli ketika kepala burung itu menempel di anusku. Perlahan dan pasti, burung itu memasuki sarangnya, sampai amblas.
Burung kecil yang baru tiga bulan disunat itu, lenyap di dalam anusku. Aku meyuruhnya agar dia mencucuk-cabut (memompa) burungnya. Dia melakukannya dengan hati-hati. Perintahku, burung itu jangan sampai lepas dari lubang anusku. Karena hati-hatinya, cucuk-cabut itu, membuatku menjadi horny. Dan...aku tiba sudah berada di puncak kenikmatanku. Seeeeerrrr....seeerrr.seeeeeerrrrrr........
Aku orgasme. Aku meraba paginaku yang benar-benar sudah basah dan becek. Sementara Ponidi masih mencucuk-cabut burungnya. Kini, makin lama makin cepat dan cepat. Aku semakin merasakan lubang anusku semakin nikmat, sampai ke seluruh syaraf-syarafku.
"Begitu, nak. Ayo, makin cepat," kataku. Ponidi menurut. Aku mulai merasakan Ponidi memelukku dengan erat lalu....seeeeerrrr.....seer.....seeeerrrrrrrr.....
Urine itu tumpah dari mulut burung kecil itu. Kularang Ponidi mencabut burungnya. Ponidi menurut. Sampai burung itu, mati lemas sendiri. Kubiarkan urine itu berada lima menit dalam rongga perutku. Lalu dengan cepat aku berlari ke kamar mandi. Lalu, breeeetttt....urine itu keluar bercampur sedikit tinjaku. Lagi-lagi urine itu, dilumuri lemak, seperti minyak goreng bimoli. Aku cepat-cepat menyirami kotoran itu dari lantai kamar mandi dengan air. Setelah yakin berish dan tak berbau aku memanggil Ponidi. Kami membersihkan diri bersama.
Setelah kami membersihkan diri, aku membopongnya ke kamar tidur dan kami tertidur berpelukan telanjang. Dua jam kami tertidur pulas. Kami terbangun menjelang pukul 15.00 siang. Secepatnya kami mandi dan pergi ke pasar memenuhi janjiku.
Setiap ada kesempatan, kami melakukannya. Dampaknya, perutku semakin langsing, karena banyak lemak yang keluar. Hanya tiga kali aku mengelus burung kecil itu dengan lotion. Untuk kali ke empat dan seterusnya, burunng itu tak perlu diberi lotion lagi. Satu tahun kemudian, Ponidi sudah memproduksi sperma. Aku tetap melakukan hubunganku dengannya secara penuh rahasia.
Burungnya kini semakin besar dan gagah berani, aku pakai untuk kepuasan birahiku.
Sekarang, Ponidi yang begitu berjasa membuatku langsing dan semakin cantik, semakin pintar melakukan tugasnya. Kami terus melakukan kegiatan kami lebih rahasia lagi dan masing-masing kami, mampu menikmatinya.
Ponidi tidak hanya pintar mencucuk-cabut burungnya ke dalam sangkarnya di pagia dan di anusku. Dia juga sudah pintar beroral seks.
Namun aku masih tetap butuh penggantinya. Menurut nasehat temanku itu, jika permainan itu stop selama 5 bulan, tubuh akan kembali menjadi melar dan gendut. Lemak akan kembali bertahta di dalam tubuh, kecuali kita sangat rajin dan sangat teratur berolahraga.
Terpaksa aku mencari pengganti Ponidi, untuk menjaga lemak dalam tubuhku. aku mencari dan dengan cepat menemukan burung kecil lainnya dan memakainya. Mujur bagiku. Burung itu bernama Herman, berusia 9 tahun. Walau sembilan tahun, tubuhnya hampir sebesar tubuh Ponidi. Ponidi tak tahu, kalau aku memakai Herman dan sebaliknya juga. Mereka tak boleh saling cemburu.
Kini aku berusia 37 tahun. Aku adalah stri kedua dari seorang pengusaha batik terkenal di pekalongan. Sebelumnya, perkenalkan namaku Mira. Aku tinggal di sebuah ibukota kecamatan dan mengelola sebuah usaha kecil yang diberikan suamiku, yakni pembuatan batik. Setiap hari tidak kurang 12 orang pembatik datang ke rumahku. di Belakang rumah, tersedia sebuah ruangan semecam gudang tempat para karyawanku membatik. Kerjanya mereka borongan. Setiap selesai satu batik dengan motif yang sudah ditentukan, mereka akan kubayarkan upah mereka.
Entah kenapa, pada siang yang sedang sepi pekerjaan, aku teringat percakapanku dengan teman bekas sama-sama D3 di sebuah perguruan tinggiku ketika aku masih menjadi mahasiswa. Menurut temanku itu, ternyata urine dari burung-burung kecil, mampu membuat kita langsing. Selain kita terpuaskan akan kebutuhan libido, juga membuat kita jadi sehat. Mulanya aku tak percaya. Tapi setelah kualami sendiri, aku mendapatkan manfaat yang luar biasa. Begini ceritanya.
Suamiku sering pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Selian bisnis batik, suamiku memiliki bisnis lain, seperti dagang pupuk dan pestisida serta peralatan pertanian.
Hari itu minggu. Para pekerja libur. Pembantuku Ponirah pun sedang ke kampung. Di rumah hanya aku dan Ponidi, Ponidi adalah anaknya seorangj anda yang ditinggal mati oleh suaminya. Ponidi menurutku seorang yang pintar, hingga dia harus meneruskan pendidikannya. Karean Ponirah tak mampu, maka Ponirah harus tinggal di rumahku sebagai pembantu dengan gaji yang lumayan dan anaknya mendapatkan pendiikan dariku.
Aku mendekati Ponidi yang berusia 11 tahun. Beberapa kali dia kulihat suka memainkan "burugnya". Pasti anak ini sedang memainkan imajinasinya, pikirku.
Ponisi yang kurus, berkulit bersih dan rajin itu, kupanggil. Dia datang, lalu kusuruh dia mandi. Setelah mandi bersih, aku memeluknya dengan kasih sayang. Dia memang butuh kasih sayang, karena ibunya yang pembantu, terlalu sibuk dengan pekerjaannya, hingga jarang punya waktu memperhatikan dirinya. Ponidi kini sekolah kelas 5 SD. Aku yang mebiayai, mulai dari uang sekolahnya, sampai pakaian dan segala sesuatunya. Ponidi menjadi tanggunganku. Itu sebabnya dia begitu patuh dan hormat kepadaku.
Aku mencium pipinya dan membelai rambutnya. Hitung-hitung, aku bisa melampiaskan kasih sayangku pada anak bungsuku yang kini tinggal bersama neneknya dalam kemanjaannya. Anakku yang dua lagi sekolah di Jakarta dan Bandung.
Perlahan, kuelus burungnya yang kecil. Kulihat Ponidi diam saja tanpa berani berontak. Lma kelamaan, Poniri pun memejamkan matanya. Dengan cepat dia kubopong ke tempat tidurku.
"Tunggu di sini," ujarku. Dia diam. Aku cepat ke kamar mandi dan membuka CD ku. Kini aku tinggal memakai daster longgar tanpa CD dan BH. Aku tak lupa membawa lotion dari kamar mandi. Kudetakti Ponidi. Perlahan kubuka celananya. Kulihat, burung kecil itu sudah tegak berdiri. Aku mengelusnya dengan lotion. Ketika burung itu semakin tegak bagaikan tiang bendera yang siap tempur, aku mengangkangi tubuhnya dan mengarahkan burung itu ke paginaku, lalu menindihnya dari atas. Kumasukkan burung kecil itu ke sangkarnya, paginaku.
Setelah semuanya amblas, Aku memeluknya, menindihnya, dan menicum bibirnya. Lalu dengan cepat, kubaliknya tubuhku. Kini Ponidi berada di atas tubuhku dan menindihkku. Tak begitu sulit bagiku membalikkan tubuhnya agar berada di atas. Aku menaksir, berat tubuhnya berkisat 18 Kg.
Saat dia berada di atas tubuhku, aku mengganjal pantatku dengan bantal yang ada di kepalaku. Kini paginaku mencuat ke atas. Secara alami, kurasakan Ponidi mulai memompa paginaku. Aku mengepit pantatnya dengan kedua kakiku, sembari mengelus-elus punggungnya dengan kasih sayang.
Tak, lama Ponisi mengejang. Dan seeeeerrrrr. Aku merasakan betapa hangatnya, urine yang keluar dari burung kecilku itu. Justru ini yang kucari. Bukan sperma. Aku merasakan betapa hangatnya ruang paginaku. Hangat sekali. Kupererat kedua kakiku menjepit tubuh Ponidi. Aku tahu, kalau Ponidi sedikit merasa sakit atas jepitanku. Dia diam saja, tak berani melawan. Dia anak ecil yang terlalu baik dan pintar serta sangat kumanjakan selama ini dengan kasih sayang. Burung kecil itupun semakin mengecil. Perlahan kulepaskan jepitan kakiku ke tubuhnya. Dengan perlahan kukesampingkan tubuhnya ke sisi kiriku. Sementara Urine, Masih saja memenuhi rongga paginaku.
Setelah 5 menit, urine itu berada dalam rongga paginaku, lubang paginaku sengaja ditutup pakai telapak tanganku dan aku pergi ke kamar mandi. Tetesan urine itu tetap saja tercecer dari sela-sela jariku. Dan...urine itu tertumpah setelah di kamar mandi, saat aku melepaskan tanganku dari paginaku.
Di lantai keramik putih bersih, aku melihat urine itu, tertumpah. Warnanya kekuning-kuningan. Urine, seperti di lumuri minyak goreng Bimoli. Berkilat-kilat. Mungkin itulah lemak yang lepas dari rongga paginaku.
Setelah membersihkan paginaku, aku kembali ke kamar. Kutemukan Ponidi sedang telentang berselimut. Kucium pipinya dengan kasih sayang. Aku menyuruhnya segera membersihkan dirinya ke kamar mandi, sedang aku membersihkan tempat tdiur yang tertumpah uriine.
Setelah makan siang, aku mengajak Ponidi ke lantas atas rumahku. Di lantai atas ada teras yang luas. Kubentangkan ambal mini yang sudah usang dan tak dipakai lagi, namun masih sangat bersih. Aku membawa bantal dan lotion.
"Seperti tadi lagi, bu?" Ponidi bertanya lugu. Ah...ini anak sudah menemukan rasa nikmatnya, pikirku.
"Ya...tapi cara yang lain, kataku. Kamu harus mau ya, nanti ibu kasi uang jajan dan kita ke pasar beli baju baru. Asal kau tidak bilang kepada siapa saja, termasuk kepada simbokmu," kataku.
Mendengar uang jajan dan baju baru, dia mengangguk tanda setuju dan riang.
Aku mulai mencium pipinya. Lalu aku menicum bibirnya. Mulanya dia merasa risih, mendapat ciuman dari bibirku. Aku harus bersabar mengajarinya, bagaimana cara berciuman bibir. Kuulurkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Dia menolak. Aku tahu dia belum pernah melakukan itu.
"Kamu julurkan lidahmu, Pon, biar ibu emut. Pasti enak ," kataku. Dengan sungkan dia mulai menjulurkan lidahnya dan aku menghisapnya perlahan-lahan. Oh...betapa nikmatnya lidah mungil itu. Kemudian gantian aku menjulurkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Perlahan dia mulai mengisapnya. Aku terus mengelus kepalanya dengan tangan kananku, sementara tangan kriiku mengelus punggungnya. Aku duduk bersila. Ponidi duduk mengangkangi pahaku. Aku membopongnya. Setelah puas mencium dan mengulum bibirnya yang mungil itu, aku membuka dasterku dan semuanya, hingga aku benar-benar bugil. Kubuka juga seluruh pakaian Ponisi, hingga dia juga benar-benar bugil. Aku kembali duduk besila di lantai. Kuminta Ponidi menduduki kedua pahaku. Kini, kuarahkan Ponidi mengisap payudaraku. Aku mulai merasakan, Ponidi mendekap tubuhku dengan erat. Dia sudah mulai mendapatkan kenikmatan, pikirku. Setelah payudaraku sebelah kiri sedikit terasa kebas diemut, Kuarahkan mulutnya untuk mengemut puting tetekku sebelah lagi. AKuterus mengelus-elus kepalanya dengan kasih sayang dan mengelus punggungnya juga.
Kini aku merebahkan diri di lantai, beralas ambal mini bersama Ponidi. Perlahan kuelus burung itu dengan jariku sampai tegak berdiri. AKu memasukkannya ke dalam mulutku dan mulai kujilati burung kecil. Ukurannya berkisar sebesar jempol kaki orang dewasa ketika tegak berdiri. Setelah yakin burung itu demikian tagak, aku melumasinya dengan lotion, sesuai petunjuk temanku. Lalu aku menungging. Kusuruh Ponidi berlutut persis di belakang dekat anusku. Kutuntun burung berlumur lotion itu memasuki sarang keduanya, yakni anusku. Setelah yakin kepala burung itu menempel di lubang anusku...
"Ayo tekan, Pon" kataku. Ponidi mengikuti permintaanku yang bernada perintah itu.
Burung Pipit berlumur lotion itu dengan tangan kiriku, terus dalam jepitan jari jempol, telunjuk dan jari tengah tanganku mengarahkan ke anusku. Setelah aku yakin kepala burung kecil itu menempel di anusku, kusuruh dia menekan burungnya itu untuk menembus lubang anusku. Aku mulai merasakan burung kecil itu, perlahan menembus anusku. Terasa geli ketika kepala burung itu menempel di anusku. Perlahan dan pasti, burung itu memasuki sarangnya, sampai amblas.
Burung kecil yang baru tiga bulan disunat itu, lenyap di dalam anusku. Aku meyuruhnya agar dia mencucuk-cabut (memompa) burungnya. Dia melakukannya dengan hati-hati. Perintahku, burung itu jangan sampai lepas dari lubang anusku. Karena hati-hatinya, cucuk-cabut itu, membuatku menjadi horny. Dan...aku tiba sudah berada di puncak kenikmatanku. Seeeeerrrr....seeerrr.seeeeeerrrrrr........
Aku orgasme. Aku meraba paginaku yang benar-benar sudah basah dan becek. Sementara Ponidi masih mencucuk-cabut burungnya. Kini, makin lama makin cepat dan cepat. Aku semakin merasakan lubang anusku semakin nikmat, sampai ke seluruh syaraf-syarafku.
"Begitu, nak. Ayo, makin cepat," kataku. Ponidi menurut. Aku mulai merasakan Ponidi memelukku dengan erat lalu....seeeeerrrr.....seer.....seeeerrrrrrrr.....
Urine itu tumpah dari mulut burung kecil itu. Kularang Ponidi mencabut burungnya. Ponidi menurut. Sampai burung itu, mati lemas sendiri. Kubiarkan urine itu berada lima menit dalam rongga perutku. Lalu dengan cepat aku berlari ke kamar mandi. Lalu, breeeetttt....urine itu keluar bercampur sedikit tinjaku. Lagi-lagi urine itu, dilumuri lemak, seperti minyak goreng bimoli. Aku cepat-cepat menyirami kotoran itu dari lantai kamar mandi dengan air. Setelah yakin berish dan tak berbau aku memanggil Ponidi. Kami membersihkan diri bersama.
Setelah kami membersihkan diri, aku membopongnya ke kamar tidur dan kami tertidur berpelukan telanjang. Dua jam kami tertidur pulas. Kami terbangun menjelang pukul 15.00 siang. Secepatnya kami mandi dan pergi ke pasar memenuhi janjiku.
Setiap ada kesempatan, kami melakukannya. Dampaknya, perutku semakin langsing, karena banyak lemak yang keluar. Hanya tiga kali aku mengelus burung kecil itu dengan lotion. Untuk kali ke empat dan seterusnya, burunng itu tak perlu diberi lotion lagi. Satu tahun kemudian, Ponidi sudah memproduksi sperma. Aku tetap melakukan hubunganku dengannya secara penuh rahasia.
Burungnya kini semakin besar dan gagah berani, aku pakai untuk kepuasan birahiku.
Sekarang, Ponidi yang begitu berjasa membuatku langsing dan semakin cantik, semakin pintar melakukan tugasnya. Kami terus melakukan kegiatan kami lebih rahasia lagi dan masing-masing kami, mampu menikmatinya.
Ponidi tidak hanya pintar mencucuk-cabut burungnya ke dalam sangkarnya di pagia dan di anusku. Dia juga sudah pintar beroral seks.
Namun aku masih tetap butuh penggantinya. Menurut nasehat temanku itu, jika permainan itu stop selama 5 bulan, tubuh akan kembali menjadi melar dan gendut. Lemak akan kembali bertahta di dalam tubuh, kecuali kita sangat rajin dan sangat teratur berolahraga.
Terpaksa aku mencari pengganti Ponidi, untuk menjaga lemak dalam tubuhku. aku mencari dan dengan cepat menemukan burung kecil lainnya dan memakainya. Mujur bagiku. Burung itu bernama Herman, berusia 9 tahun. Walau sembilan tahun, tubuhnya hampir sebesar tubuh Ponidi. Ponidi tak tahu, kalau aku memakai Herman dan sebaliknya juga. Mereka tak boleh saling cemburu.