Ventura 1

Ventura 1


inopsis: Dengan dukungan Ferry, preman kompleks, Kim menghajar habis-habisan Donny yang telah menyetubuhi Maya pada saat Maya setengah sadar akibat Ineks. Penganiayaan ini menyulut bara dendam, dan ketika Kim tanpa perlindungan Ferry, Donny beserta orang-orang bayaran berencana memberikan pelajaran mengerikan kepada gadis manis ini.

Prolog :

Surabaya, 2000

Kim membuka matanya lebar-lebar, berusaha menahan kantuk yang mulai menyerangnya. Kepengapan ruang kerja ini sedikit merisaukannya. Aku harus segera pulang, pikirnya. Dibereskannya kertas-kertas kerja di mejanya, mengangkat cangkir kopi yang sudah kosong itu dan menaruhnya di samping pintu. Mematikan lampu dan bergegas menuju lift.

Lampu-lampu malam kota masih terlihat indah menjelang dini hari. Sopir taksi yang ditumpanginya menatap penuh rasa ingin tahu dari balik kaca spion penumpang. Kim tidak mengacuhkan pandangan itu, dan menikmati angin pagi segar yang masuk melewati celah jendela membelai ubun-ubunnya. Kim berusaha melupakan tumpukan pekerjaannya yang belum selesai.

Kim menghisap rokok di ujung bibirnya dalam-dalam, meresapi kelelahan yang mulai menusuk otot dan tulang di tubuhnya. Dalam kenikmatan asap rokok yang dirasakannya, benaknya melayang akan persimpangan alur kehidupannya yang terjadi empat tahun yang lalu, yang terasa begitu cepat dilaluinya. Saat-saat ia masih duduk di bangku kuliah, saat-saat bahagia bersama sahabat-sahabatnya, di sebuah rumah kontrakan kecil yang hanya ditempatinya seorang diri.

BAB I

Malang, 1996

"Ahk," Kim mendesah lirih saat Han meremas payudaranya, bibirnya terbuka, mencuri sedikit udara saat lumatan pria itu mencapai bibir bawahnya.
"Aku menyukaimu, Kim." Han berbisik di telinga gadis itu.
Kim memegang pundak Han dan mendorongnya menjauh. "Sayang," cetusnya, "Tapi bukan seperti ini yang kuinginkan."
Han tertawa. Lelaki itu mendekatkan lagi dadanya yang telanjang, tangannya terjulur dan menggapai payudara Kim yang masih meruncingkan bibirnya. "Masa..?"
"Hentikan, Han..!" Kim mendorong tubuh lelaki itu menjauh, bangkit berdiri dari sofa, memunguti pakaiannya dan mengenakannya.
"Kamu sebaiknya pulang sekarang."
Han mendengus dan bangkit berdiri. "Kamu sulit juga, ya..?"
Kim tersenyum miring, "Kamu kurang pandai. Sayang sekali."

Han mengenakan kausnya, menatap tubuh molek itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu sesuai dengan reputasimu."
"Thanks."
"Tantangannya juga."
Kim tertawa, membalikkan tubuhnya, mendekati Han yang masih menatapnya. Kim mengangkat lengan lelaki itu, meletakkan tangannya di payudara kirinya dan berbisik, "Pulang, gih. Lain kali coba lebih perlahan, jangan terlalu agresif."
Han mencoba mengecup bibir gadis itu, tapi Kim sudah beranjak ke arah pintu dan membukanya.
"Kim."
"Apa lagi..?"
"Kalau kamu suatu hari nanti merindukan hubungan serius.."
"Iya, iya," Kim mendorong tubuh lelaki itu keluar, "Aku tahu."

Kim menutup pintu di depannya, kemudian menghampiri telepon yang mendadak berdering.
"Halo..?"
"Kim..?"
"Ah, Roy. Wazzup..?"
Suara di seberang memperdengarkan tawa renyah, "Sibuk..?"
"Ah, ngga juga. Kenapa..?"
"Jalan yuk..?"
Kim mendesah, merasakan pening di kepalanya.

"Lagi M, nih. Malas maksudnya."
"Yah. Okelah, lain kali..?"
"Sure."
Kim meletakkan gagang telepon itu, mengutuk kepada pening yang masih mengguncang kepalanya. Diayunkannya langkah kakinya menuju lemari ruang tamu. Alisnya berkerut ketika Neuralgin itu memasuki tenggorokannya. Kim menarik kerah bajunya, berdecak sebal saat melihat bekas gigitan itu di atas payudaranya.
"Lelaki sial." geramnya.

BAB II


Maya memandang Kim yang masih sibuk menghabiskan jus jeruknya.
"Kim."
Kim menolehkan kepalanya menatap sahabatnya. "Apa..?"
"Aku tadi malam melakukannya dengan Donny."
Kim membelalakkan matanya, mengambil tissue dan mengusap sedikit air jeruk yang sempat menetes di sudut bibirnya, "Donny..?"
"Iya. Donny."
Bibir bawah Maya mulai bergetar, bulir air mata mulai mencoba menembus kantung mata gadis itu. Kim menyodorkan kotak tissue di depannya.

"Bagaimana bisa..?" tanyanya dengan nada marah.
Maya mengusap air matanya yang mulai mengalir, "Ineks."
Kim menggeleng-gelengkan kepalanya, menyalakan sebatang mild hijau yang terselip di bibirnya.
"Cih, sejak kapan kamu selemah ini..?" desisnya.
"Aku bukan kamu, Kim." desah gadis di sebelahnya.
Kim terhenyak sesaat. Arogansi keberadaannya telah membuatnya begitu unggul di hadapan teman-temannya. Dan itu sangat disadarinya. Kim menghembuskan asap rokok dari sudut mulutnya, menatap ke arah kolam ikan di depannya.

"Lalu dia bagaimana..?"
Maya menghela nafasnya dalam-dalam, "Entahlah."
"Kok 'entahlah'..?"
"Katanya karena dasar suka sama suka..."
"Hei," Kim memotong ucapan Maya, "Suka sama suka..?"
Maya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Kim menghisap rokoknya dalam-dalam, tubuhnya bergoyang-goyang menahan emosi yang meluap di dadanya.
"Ferry bisa menghabisinya sekarang." geramnya.
"Jangan, Kim." Maya memegangi lengan sahabatnya erat-erat.
Kim mengerang dan mengangkat kedua lengannya ke atas.
"Ya sudah, kalau itu maumu."

Maya menjatuhkan kepalanya di bahu Kim dan membiarkan lengan Kim merangkulnya dan mengusap ubun-ubun kepalanya.
"Aku sayang Donny, Kim."
"Aku tahu." bisik Kim lirih.

Kim mengayunkan potongan kaki kursi itu dan menikmati darah yang mengucur dari sudut bibir lelaki di hadapannya.
"Bangsat..!" geramnya.
Lelaki lain yang memegangi lengan lelaki sebelumnya hanya tertawa menyaksikan keberingasan gadis di depannya, "Hajar saja, Kim."
Kim mengerang penuh kemarahan dan menusukkan ujung kaki kursi itu ke lambung lelaki di hadapannya, membuat lelaki itu menjerit tertahan dan membungkukkan tubuhnya.
"Lepaskan dia, Fer."
Ferry melepaskan tubuh yang segera tersungkur di tanah itu sambil tertawa sinis. Kim membungkuk, menjambak rambut lelaki itu dan berbisik di telinganya.
"Aku tak suka ineks, tapi aku sayang dengan sahabat-sahabatku."

Lelaki itu hanya mengerang tak jelas. "Dan," Kim meneruskan bisikannya, "Jika aku mendengar kau meninggalkan Maya, atau memberitahukan kejadian ini kepadanya..." Kim melemparkan kepala lelaki itu ke tanah, mengangkat tubuhnya dan melayangkan kakinya ke wajah lelaki itu.
Ferry menyaksikan semua itu sambil tertawa-tawa kecil. "Sudahlah, Kim. Dia pasti sudah sangat mengerti maksudmu." ucapnya beberapa saat kemudian.
Ferry mengambil potongan kaki kursi itu dari genggaman Kim, merangkul pundak gadis itu yang masih berguncang dan menuntun gadis itu pergi. Kim meronta, melangkah dan menatap teman-teman lelaki yang terhajar itu dengan garang, "Kalian..!" umpatnya.

"Pengecut-pengecut..! Dengar..! Kalau kalian tidak terima, sekarang boleh maju..!"
Ferry tersenyum, "Kalian akan melangkahi aku dulu, tentunya."
Kerumunan lelaki itu hanya terdiam dan menatap ke ujung kaki mereka masing-masing, gentar akan gertakan terakhir yang keluar dari preman kompleks bertubuh kekar di belakang si gadis. Kim meludah dan membiarkan lengan Ferry membawanya pergi.

"Bangsat-bangsat itu..!" Kim mendesis penuh kegeraman.
"Sudahlah, Kim." Ferry berusaha menenangkan sahabatnya, "Mereka toh hanya melihat, lagipula si Donny sudah menerima pesanmu, kan..?"
Kim menghisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya perlahan, menikmati kepulan yang membuyar di atasnya.
"Kim.."
"Yap..?"
"Bercinta, yuk."
Kim menoleh, menatap senyuman yang tersungging di atas janggut lebat lelaki yang duduk di sebelahnya, "Jadi karena itu kamu mau membantuku..?"
Ferry menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Eh.. ehm..."

Kim tertawa melihat kegugupan lelaki itu, yang menjadi sangat berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Kim mengangkat lengannya dan menyisir rambut panjang Ferry dengan jemarinya, mengecup pipi lelaki itu, "Thanks."
Ferry menatap tubuh gadis itu yang sudah beranjak dan mengenakan helmnya.
"Yah. Gagal lagi, deh." gumamnya.

BAB III

"Kuadran hasil persamaan linier ini akan dapat diketahui..."
Kim berusaha keras mendengarkan ocehan bapak dosen yang terasa membosankan, lengan yang menyangga kepalanya mulai terasa pegal.
"Kim." Maya berbisik memanggil-manggil sahabatnya dari belakang.
Kim menolehkan kepalanya dan terpejam saat gumpalan kertas itu mengenai keningnya. Matanya menatap ke arah lemparan itu, dan melihat Maya yang menutupi mulutnya dengan alis terangkat. Kim meraih gumpalan kertas itu, mengomel kecil dan membukanya.
"Thanks berat, Kim. Maya." bacanya dalam hati.

Kim tersenyum dan menoleh ke arah Maya, mengacungkan jempolnya dan merasakan kelegaan yang merasuki hatinya saat Maya mengedipkan matanya.
"Mbak, tolong dijelaskan kepada teman-temannya."
"Ups." Kim menatap dosen yang mendadak sudah berada di sebelahnya.
Kim memasang senyum 'tak berdosa'-nya yang mau tak mau membuat pak dosen sedikit merona dan akhirnya menolehkan wajahnya sambil mengomel panjang lebar, "Cantik-cantik bodoh, percuma saja."
Dosen itu melangkah kembali ke depan ruangan, tidak sempat menyaksikan beberapa lengan yang memegangi gadis di belakangnya, yang sudah memasang kuda-kuda dengan sepatu sandal di tangannya.

"Aku yang akan membuatmu panas."
Kim tertawa saat lelaki itu merangkulnya dan mengecupi lehernya, tangannya terangkat dan melingkari tengkuk si lelaki yang semakin liar menggerakkan kepalanya.
"Belum panas, tuh." ucapnya sambil tertawa kecil.
Lelaki itu mengangkat baju Kim melewati kepalanya, meremas payudaranya yang membusung, menciumi kulit dadanya dengan bernafsu.
"Ayo, panas." desah lelaki itu sambil sedikit terengah oleh nafsunya sendiri.
Kim meraih tali branya dan menariknya menuruni lengannya, membiarkan lelaki itu menikmati payudaranya yang telanjang, "Belum, juga."

Lelaki itu mendengus, menciumi payudara gadis di dekapannya, melumat puting payudara dalam genggamannya, membuat Kim sedikit terengah dan menggelinjang. Kim membiarkan jemari lelaki itu membuka kancing dan retsleting celananya, menikmati jemari si lelaki yang menyusup dan mengusap-usap permukaan kemaluannya.
"Touch me." desah si lelaki.
Kim mengulurkan lengannya, menarik celana si lelaki yang hanya terikat tali, dan merogohkan tangannya ke balik celana dalam si lelaki. Lelaki itu mendesah merasakan pijatan dan remasan tangan Kim pada batang penisnya. Lelaki itu mengangkat tubuhnya, menarik celana jeans berikut celana dalam si gadis dan membentangkan kedua kaki Kim di sisi tubuhnya.

Kim meronta dan menarik lengan si lelaki, menjatuhkannya ke atas tempat tidur, dan menindih penisnya dengan pinggulnya. Lelaki itu mendesah merasakan bibir kemaluan Kim yang menindih batang penisnya. Kim menggerakkan pinggulnya, menggesek batang penis lelaki di bawahnya, membiarkan cairan vaginanya membasuh penis lelaki itu dan membuat si lelaki mengeluh penuh kenikmatan.
"Kim.." Lelaki itu mulai menuntut yang lebih saat gerakan Kim semakin liar di atasnya.
Kim tertawa kecil, membungkukkan tubuhnya dan membiarkan lelaki itu mengecup ujung payudaranya, "Apa..?"
"Aku mau."
"Aku tidak."

Lelaki itu membuka matanya dan menunjukkan wajah protes, namun Kim segera mengangkat tubuhnya, meraih batang penis si lelaki dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Lelaki itu tak kuasa lagi menahan ejakulasinya saat Kim menghisap ujung penisnya. Kim tersenyum dan meludah ketika menyaksikan sperma lelaki itu menyembur dan membasahi kulit dadanya.
"Teganya kamu." desis lelaki itu sambil menyeka peluhnya.
"Baru tahu..?" Kim tertawa kecil, tangannya masih menggenggam batang penis lelaki di sebelahnya yang mulai melemas.

BAB IV

Kerumunan orang itu menjadi ramai ketika Ferry dan Kim tiba.
"Woy, Boss datang." Ferry melangkah turun dari macannya dan menebarkan senyumnya ke arah kerumunan orang itu.
Seorang lelaki kurus mendekatinya sambil berseru, "Gila nih, habis bercinta di mana..?"
Lelaki itu merasakan kepalanya terdorong maju dan tubuhnya limbung.
"Bercinta kepalamu." Kim tertawa menyaksikan lelaki itu berusaha menyeimbangkan tubuhnya.
Naryo tertawa juga melihat bibir Kim yang meruncing, "Kirain."
Kim mendekatinya, dan Naryo kali ini berhasil menghindari ayunan lengan itu.

"Sudah, sudah." Ferry tergelak melihat kekonyolan teman-temannya.
Kim mendekati Anya yang langsung memeluknya.
"Kim, si Donny kemarin garapanmu ya..?"
Kim hanya tersenyum, "Oh, bukan. Garapan si Ferry."
Ferry menggerakkan lengannya menyapu udara.
"Kalau kalian saksikan cara Kim mengayunkan potongan kursi itu. Wah."
Lima belas orang anak muda itu langsung tertawa berbarengan. Kemeriahan itu hanya ada bila Kim ada di antara mereka. Kalau hanya ada Ferry, mereka justru merasa sedikit seram dan kaku. Dan mereka tahu, hanya Kim yang mampu menjinakkan Boss mereka.

"Siapa tuh..?"
Ina menoleh ke arah lirikan Kim. "Oh, itu anak pindahan."
Kim memandangi tubuh kurus lelaki berambut panjang itu dengan seksama.
"Katanya sih, dari Surabaya." Anya membisiki kupingnya.
"Keren juga." bisik Kim menunjukkan raut wajah tertarik.
"Kim, si Boss ngeliatin, tuh. Awas cemburu melambai."
Kim menatap Ferry di kejauhan den menjulurkan lidahnya.
"Biar saja, emang gua pikirin."
Ina tertawa. Anya menyikut rusuk Ina, ketika Kim bangkit berdiri dan mendekati lelaki itu.

"Bisa pinjam korek..?"
Lelaki itu menoleh, menatap gadis di belakangnya. Sejenak lelaki itu merasa rokoknya hampir terlepas dari bibirnya.
"A.. ada." ucapnya tergagap-gagap.
Kim tersenyum saat lelaki itu menyalakan zippo-nya.
"Thanks." ucapnya dan berlalu, meninggalkan si lelaki gondrong yang masih terpana seakan baru saja didatangi bidadari surga.
"Pin..? Hoi."
Lelaki itu menoleh, melihat temannya yang nampak sedikit gugup."Huh..?" ucapnya singkat, sebelum matanya menatap kembali ke arah bidadari barusan yang kini juga menatapnya bersama teman-temannya.

Sebuah lengan menepuk bahunya. Papin melihat sosok tinggi besar yang berdiri tersenyum di sebelahnya yang menunjuk ke arah zippo-nya yang masih menyala.
"Eh..?"
"Minta apinya." orang itu berkata pelan.
Papin menyodorkan zippo-nya yang masih menyala.
"Jangan lupa ditutup. Nanti cafe-nya terbakar." seloroh orang tinggi besar itu. Papin memandangi orang itu yang melangkah menuju ke arah bidadari tadi.
"Aku berusaha mengatakannya kepadamu."
"Ah..? Apa..?" Papin menoleh ke arah temannya yang kini sudah mengeluarkan keringat dingin.
"Kenapa..?" tanyanya.

"Anak pindahan."
Kim menatap berang ke arah Ferry yang sudah mengambil posisi bersila di sebelahnya, "Lalu, kok ada bau intimidasi..?"
Ferry memandangnya dan hanya tertawa. Ina dan Anya ikut tertawa geli menyaksikan Ferry dan kecemburuannya. Kim mengomel dan menusuki roti bakar di depannya dengan gerakan berulang-ulang. "Hanya informasi situasi." Ferry berkata pendek di dekat telinga Kim dan beranjak kembali menuju teman-temannya di seberang.
Kim sempat melihat lelaki gondrong itu melirik dan tersenyum kepadanya, sebelum memalingkan wajahnya ketika Ferry melintas dengan sedikit menggeram. Ketiga cewek itu tertawa bersamaan melihat reaksi si lelaki gondrong yang terlihat gugup.

BAB V

Kim sedang menikmati lantunan musik melalui walkmannya ketika telpon di ruang tamu berdering.
"Hallo..?"
"Kintan..?"
"Yow. Siapa ini..?"
"Donny."
Ah, si Donny. Ada apa lagi dengan anak ini, tanya Kim dalam hatinya.
"Aku ada di depan, bukain pintu. Aku ingin cerita sesuatu. Masalah Maya."
"Oh. Baiklah." Kim menutup gagang telepon, melangkah menuju pintu.

Tangan itu menutup mulutnya dan membantingnya ke sofa.
"Aduh," Kim mengerang saat kepalanya menyerempat tembok, "Apa-apaan ini?"
Donny melihat ke arah gadis itu, matanya menyala-nyala penuh kebencian. Kim melihat beberapa orang lelaki lain berdiri di belakang Donny. Wajah-wajah itu tak pernah dilihatnya sebelumnya. Itu...

Salah serang lelaki melangkah mendekat, Kim mencoba berdiri dan menghindar, namun gerakan lelaki itu begitu cepat. Lelaki itu merangkul tubuhnya dan menindihnya di atas sofa, menduduki kaki Kim dengan berat tubuhnya. Donny berjongkok, mendekatkan bibirnya di wajah si gadis.
"Kamu tahu berapa cewek yang lenyap di Malang setiap minggu..?" desisnya.
Lelaki-lelaki di belakangnya dan tertawa ketika melihat raut wajah ketakutan yang memancar dari gadis itu.
"Kamu. Kamu mau apa..?" ucap Kim berusaha menenangkan hatinya.
Lelaki yang menduduki kakinya tertawa, "Memperkosamu, membunuhmu dan membuangmu ke balik semak-semak."
Kim menjerit tertahan. Donny dan lelaki-lelaki lain di belakangnya tertawa-tawa saat menyaksikan tangan kekar lelaki yang menindih tubuh gadis itu bergerak dan memutus kancing baju si gadis, memperlihatkan tonjolan buah dada yang putih mulus tanpa cacat. Kim mengerang dan berusaha meronta ketika lengan lelaki di atasnya menarik branya dan membuat payudaranya menyembul keluar.

"Jangan..!"
Kim merasa sekujur tubuhnya melemas ketika tamparan lengan kekar itu mengenai pipinya. Kim merasa pandangannya menjadi nanar, ia hanya bisa mengeluh pelan ketika tangan si lelaki di atasnya menarik celana pendek yang dikenakannya dan meremas-remas kemaluannya. Donny dan empat orang lelaki lainnya menyaksikan dengan penuh gairah.
"Ji, jangan lama-lama." salah seorang di antara mereka berseru.
Wiji tersenyum dan menggeram, mengeraskan pijatannya pada kemaluan gadis di bawahnya. Kim menjerit tertahan. Wiji menampar pipi si gadis sekali lagi, membuat kepala Kim terlempar ke samping.

Lelaki itu menarik celana dalam Kim melewati pahanya, kawan-kawannya berseru tertahan menyaksikan keindahan di depan mata mereka. Wiji mendecak kagum, menundukkan kepalanya dan menghisap puting payudara Kim dengan bernafsu, sementara tangannya merogoh dan menggesek liang vagina si gadis dengan jari tengahnya. Kim mengerang, kepalanya terasa pening. Seorang di antara gerombolan itu memegangi tangannya yang terangkat, menahannya dalam posisinya. Kim merasa sangat ketakutan di sela nanar matanya dan kepeningannya. Ketakutan yang wajar bagi seorang gadis yang akan mengalami kejadian yang lebih mengerikan daripada kematian sendiri. Kim mengeluh pasrah, rontaannya tidak membawa hasil. Donny menjulurkan lengannya dan meremas-remas payudara Kim dalam genggamannya. Wiji dan teman-temannya tertawa melihat geliat Kim saat Donny menundukkan kepalanya dan menjilat pusar si gadis. Kim merasa segalanya menjadi gelap.

"Ah, anak-anak Bungurasih ada di sini, rupanya. Kupikir tadinya hendak menyapa kalian begitu melihat sepeda motor plat L yang sangat kukenal di depan."
Donny dan gerombolannya menoleh ke arah pintu, melihat seorang lelaki kurus yang bersandar di daun pintu dan menyalakan rokok di ujung bibirnya.
"Batak..?" Wiji terdengar berseru tertahan.
Donny menatap keempat temannya yang lain yang juga terbelalak menyaksikan sosok kurus itu.

Lelaki kurus itu membuka topi SOX-nya dan membiarkan rambutnya terjurai di sisi bahunya. Matanya menatap tajam ke arah keenam lelaki di depannya, dan mendengus saat melihat gadis yang terpejam di atas sofa.
"Batak, kan..?" Wiji mengangkat tubuhnya dan mendekati si lelaki kurus, mengulurkan tangannya.
Lelaki kurus itu hanya menghembuskan asap rokok dari ujung bibirnya, tidak menunjukkan reaksi atas jabatan tangan yang terjulur di depannya, "Wiji, Johan, Rawit, Kemang, Putut, dan..."
Lelaki kurus itu menujuk tiap orang yang ada di situ dengan lirikan matanya. Donny merasakan keheningan teman-temannya, "Aku Donny."
"Ah, Donny. Dan kamu pasti anak Malang."
"Benar."

Lelaki kurus itu melangkah mendekati gadis yang masih tergolek tak berdaya di sofa. Tangannya terjulur, membetulkan letak baju si gadis. Donny memandang kebingungan ke arah teman-temannya yang hanya terdiam menyaksikan kejadian itu.
"Kamu siapa ?" tanyanya sedikit keras.
Wiji memegang pundaknya. Donny menoleh dan melihat Wiji menggelengkan kepalanya.
"Mereka memanggilku Batak." lelaki itu mendesis tanpa menoleh.
Lelaki kurus itu bangkit berdiri, menatap Donny dengan matanya yang tajam.
"Berapa kamu membayar mereka..?"
Donny terhenyak merasakan tajamnya mata lelaki itu.
"Aku.. aku.."

Kepalanya terangkat dan tubuhnya terlempar menubruk dinding ketika telapak sepatu lelaki kurus itu menghantam rahangnya dengan gerakan di luar dugaan siapapun di ruangan itu.
"Aku tak suka ini." lelaki kurus itu menghela nafas.
Wiji dan teman-temannya hanya menatap diam ketika pandangan lelaki kurus itu menyapu perasaan kagum mereka akan gerakan si lelaki kurus saat mengangkat kakinya lurus di atas kepalanya.

"Tak... ini.. kami.." Rawit bergumam lewat giginya yang tonggos.
"Bawa anak ingusan itu pergi dari sini."
Kelima orang itu hanya terdiam mendengar perintah itu. Mereka ragu-ragu.
"Ji, kamu masih ingat rasanya patah kaki..?" lelaki itu mendesis.
Wiji, yang agaknya kepala rombongan itu mengeluarkan keringat dingin dari pelipisnya. Kepalanya bergerak ke samping. Keempat lelaki lainnya tergopoh-gopoh mengangkat tubuh Donny yang mengucurkan darah dari mulutnya.
"Aku tak ingin berita ini keluar dari ruangan ini." seru si lelaki kurus.

Lelaki kurus itu menunggu sampai gerombolan orang itu pergi, menutup pintu dan menghela nafasnya dalam-dalam.
"Bahkan di sini kegelapan belum melepaskanku." desisnya lirih.
Lelaki itu membalikkan tubuhnya, menatap si gadis yang masih tergolek lemah, lelaki itu merasakan ketakutan dari bahu si gadis yang sedikit bergetar dan alis matanya yang berkerut. Lelaki itu menarik taplak meja, menutupi bagian tubuh si gadis yang terbuka, melangkah ke pintu, mengunci pintu itu dari luar dan melemparkan kuncinya ke dalam lewat celah jendela, berikut selembar kertas yang terlipat.

"Bidadari yang bodoh," senyumnya sebelum memasang lagi topi SOX-nya dan meninggalkan tempat itu.

BAB VI

Ina memeluk tubuh Kim dan berusaha menenangkan sahabatnya. Anya membaca lipatan surat itu, menghela nafasnya dalam-dalam.
"Kim," ucapnya, "Bagaimanapun kalau Ferry tahu..."
Kim mengangkat kepalanya, membiarkan lengan Ina menghapus air mata yang mengalir di pipinya, "Jangan. Kasihan Maya."
"Maya lagi. Maya lagi." Ina mengomel di sebelahnya, "Kamu lihat kan apa yang dilakukan Donny kepadamu..? Masih juga memikirkan Maya..?"
Kim terdiam, pikirannya terasa kacau.
"Ya sudahlah," Anya berkata, "Kalau memang maumu seperti itu."

Ina menatap lembaran kertas di tangan Anya yang bertuliskan 'JANGAN' itu dengan seksama.
"Siapa ya orang yang menolongmu..?"
Kim mencoba mengingat apa yang terjadi, namun semuanya terasa samar.
"Batak," desisnya lirih, "Namanya Batak."
"Batak,,?" Anya bertanya bingung.

Ina bangkit berdiri, membukakan pintu. Anya menahan tubuh Kim yang berusaha bangkit dari atas sofa.
"Ada apa lagi, Bangsat..?" Ina mendesis sambil menatap wajah lelaki di depannya.
Donny hanya menunduk, tidak berani melangkahkan kakinya masuk. Kim melihat Anya menganggukkan kepalanya.
"Masuklah, Don." ucapnya lirih tanpa menoleh.
Ina membiarkan Donny melangkah masuk. Donny langsung menjatuhkan dirinya dan berlutut di atas kedua lutunya.
"Aku mohon maaf."
Ketiga gadis itu menatap bingung.

"Kami juga."
Kim menoleh ke arah pintu. Anya dapat merasakan getaran di bahu sahabatnya. Lima orang yang barusan datang langsung masuk tanpa basa-basi, berlutut dan mengucapkan 'maaf' berbarengan. Ketiga gadis itu semakin heran. Kim lebih dahulu menyadari apa yang terjadi. Gadis itu tersenyum, membingungkan kedua sahabatnya.

"Baik. Aku maafkan kalian. Lain kali, aku akan membunuh kalian atas perbuatan kalian." ucap Kim tegas.
Keenam lelaki itu menganggukkan kepala mereka dan keluar dengan masih merangkak di atas lutut-lutut mereka. Anya dan Ina menatap dengan penuh keheranan, sementara Kim hanya tersenyum penuh arti. Begitu orang terakhir keluar, Kim mendadak bangkit dan mengeluarkan kepalanya dari jendela. Kim sempat melihat bayangan sosok lelaki kurus berambut panjang itu mengangkat topinya di kejauhan dan membungkukkan tubuhnya seperti bangsawan abad pertengahan. Kim tersenyum, melambai dan berseru, "Terima kasih, Batak..!"

Sosok lelaki kurus di kejauhan itu menyalakan mesin sepeda motor di sebelahnya dan berlalu, diikuti keenam lelaki sebelumnya.
"Siapa sih dia..?" Ina bertanya di samping sahabatnya.
"Iya, siapa sih..?" Anya menimpali.
Kim tersenyum dan mendesah.
"Pahlawanku."
Ina dan Anya saling menatap dengan bingung.

Surabaya, 2000

"Berhenti sebentar, Pak."
Sopir taksi itu memandang dari spion penumpang dengan penuh rasa ingin tahu. Kim tidak mengacuhkan pandangan sopir itu, membuka pintu mobil dan melangkah turun. Nasi pecel, itu yang terbersit di benaknya saat itu. Bapak-bapak berpakaian lusuh itu menghentikan perbincangan mereka saat Kim membungkukkan tubuhnya memasuki tenda warung yang terlihat rapuh itu. Ibu penjual nasi pecel yang masih sibuk memasang sanggul rambutnya ikut-ikutan menghentikan kegiatannya dan memandang penuh perhatian.

"Bu, nasi pecel, dibungkus, dua.."
"Eh..." ibu itu terlihat sedikit gugup.
"Bu, nasi pecel.." Kim menahan tawanya.
Seorang bapak dengan tersenyum berkata, "Jeng, `dang digawekno, mosok wong tuku dikon ngenteni." (Jeng=sapaan; cepat dibuatkan, masa orang beli disuruh menunggu)
Ibu penjual nasi itu tergopoh-gopoh bangkit berdiri melupakan sanggulnya yang belum terpasang, dan langsung menyiapkan pesanan Kim. Melihat tingkah si ibu penjual yang kocak, Kim tak sanggup menahan tawanya, dan mendengar tawa Kim yang lepas, bapak-bapak yang sedang menikmati kopi panas mereka itu tak tertahan ikut pula tertawa.
"Boleh saya duduk di sini..?"

Bapak-bapak itu bergeser dan mempersilahkan Kim duduk, sebagian dari mereka memandang dengan penuh rasa kagum ke arah Kim. Wajar saja, di saat-saat jurang kesenjangan sosial sudah sedemikian dalamnya ditambah dengan kerusuhan di mana-mana, jarang ada orang dengan penampilan exclusive yang masih memberanikan diri untuk membeli makanan di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Dan sekarang, Kim, seorang perempuan, melakukannya.
"Dari mana, Dik." Seorang bapak memberanikan diri bertanya.
"Ah, sekedar menghabiskan waktu, Pak." Kim menjawab sopan.
"Cewek warungan nih, hahaha..." salah seorang bapak yang lain berseloroh.

Kim melirikkan matanya tajam, membuat si bapak yang berseloroh barusan terkesiap, dan buru-buru memalingkan wajah, menyeduh kopinya untuk meredam perasaan terkesiapnya. Kim tersenyum, mendinginkan suasana yang mendadak `garing'.
"Bukan warungan, Pak. Jalanan." canda Kim.
Bapak-bapak itu tertawa bersamaan merasakan keakraban yang mendadak timbul antara mereka dan wanita itu. Ibu penjual nasi tersenyum melihat suasana yang mendadak hangat, menyelesaikan melipat bungkusan di tangannya, dan menyerahkan pesanan Kim.

"Monggo, Bapak-bapak," Kim berkata tersenyum sebelum melangkah keluar, dibalas dengan anggukan dan senyuman dari bapak-bapak di warung itu.
"Arang ono bocah wedok koyo ngono iku." (Jarang ada anak perempuan seperti itu.) Kim masih mendengar desahan ibu penjual warung sebelum melangkah masuk ke dalam Taksi.

BAB VII

Malang, 1996

"Pin..!"
Papin menoleh dan melihat Iwan berlari kecil menghampirinya.
"Apa..?"
"Jalan yow," Iwan memegang pundak Papin dan menatap dengan pandangan memohon.
Papin tertawa, "Jalan kemana, Man..?"
"Ke sini aja, sambil nyari kopi." Iwan menunjuk ke arah plaza di sebelah kampus mereka yang terlihat di kejauhan.
"Nyari kopi saja kesana..? Ke warung saja, deh." Papin memiringkan bibirnya tanda tidak setuju.
"Ayolah, kan ujian sudah kelar. Paling tidak `happy-happy' sedikit."
"Okay, deh." Papin menyalakan mesin sepeda motornya.

"Bagaimana ujian kamu..?"
"Kacau." Papin menyalakan rokok di ujung mulutnya..
"Hahaha, seperti di Surabaya..?"
"Sangat mirip."
Iwan tertawa. Matanya memandang ke arah orang-orang yang lalu-lalang.
"Pin."
"Yo."
"Kamu nggak nyari pacar di sini..?"
Papin tersenyum pahit, "Boro-boro pacar, cewek yang mau pendekatan sama aku saja belum tentu ada."
"Coba kamu potong rambut, lalu berpakaian sedikit necis..."
"Percuma..." Papin melambaikan tangannya menyapu angin.
"Aku ingin pacarku menyukai aku apa adanya..."

BAB VIII

Sehari sebelumnya.

"Kintan, nanti siang papa dan mama ke sana."
"Duh, jangan sekarang, Ma."
"Kenapa..?"
Kim memandangi tubuh-tubuh yang bergeletakan di ruang tamu.
"Eh, teman Kintan ada yang ulang tahun nanti siang."
"Oh, begitu."
Sebuah tangan memeluknya dari belakang, meraba perutnya dan merambat ke payudaranya. "Bentar, Ma."
Kim menutup gagang telpon dan menggerakkan kakinya ke belakang, menendang dengkul Ferry yang segera menjauh sambil terpincang-pincang.
"Ma..?"
"Ya..? Ada siapa di sana..?"
"TV, Ma," Kim beralasan sambil lalu, "Kintan mau mandi, mau ke kampus."
"Baiklah, nanti kalau tidak jadi ke pesta, telpon ke rumah."
"Siap, Ma."

"Yow, bangun kalian..!"
Kim menggerakkan kakinya menendangi tubuh-tubuh yang bergeletakan di atas lantai ruang tamu. Beberapa dari mereka terbangun, mengomel dan mengusap pantat mereka yang tertendang. Kim tertawa melihat tingkah mereka, dan menuju ke kamarnya.

"Aduh, yang dua ini," Kim menghela nafas, "Hey, bangun..!"
Ina mengeluh dan membuka matanya, "Jam berapa sekarang..?"
"Jam setengah dua belas," Kim membuka lemari dan mengambil sepotong baju.
Ina mendudukkan tubuhnya, menyingkirkan lengan Andi beberapa saat yang lalu masih menempel di dadanya. Andi merasakan pergerakan gadis itu dan ikut membuka matanya.
"Loh, aku di mana..?" gumam Andi tak jelas.
Ina membungkukkan tubuhnya, mengecup bibir Andi dan bangkit dari atas tempat tidur. Kim melemparkan sepotong pakaian lain ke arah Ina, yang langsung mengenakannya.

"Bangun, Di. Sudah siang. Katanya kamu ujian jam satu..?" Kim berkata sambil memalingkan wajahnya, ketika Andi membalikkan tubuhnya yang tertelungkup di atas tempat tidur.
"Masa..?" Andi terkejut dan segera bangkit, memunguti pakaiannya di lantai. Ina membantu kekasihnya berpakaian.
Kim mengeleng-gelengkan kepalanya melihat mereka berdua, dan melangkah keluar kamar menuju ke kamar mandi.
"Ikut, Say." Ferry mendadak muncul di belakangnya.
"Nanti sabunkan punggungku, okay..?"
"Hore," Ferry bersorak, membukakan pintu kamar mandi dan mendorong Naryo yang masih sibuk menutup retsleting celananya keluar.

"Kim, aku senang kamu kembali seperti biasa."
"Memangnya aku kenapa..?"
Ferry mengusapkan sabun di tangannya ke punggung putih gadis di depannya.
"Beberapa hari terakhir kamu terlihat sedikit murung."
"Masa..?"
"Iya." Ferry mengangkat gayung dan membasuh punggung Kim dengan air.
"Ah, aku tidak merasa demikian."
Ferry tersenyum mendengar kebohongan Kim, "Sudah."
Kim berdiri dan membuang rambutnya ke belakang, "Thanks."

"Lalu..?"
"Lalu apa..?" Kim mengambil air dengan gayung dan menyiramkannya ke tubuhnya.
"Hanya menyabuni saja..?" protes Ferry dari belakang.
"Dasar," gerutu Kim, "Sini..!" Kim meletakkan gayung di tangannya ke pinggir bak mandi dan membalikkan tubuhnya.
Gadis itu melingkarkan lengannya di leher Ferry dan menempelkan dadanya yang basah ke dada telanjang lelaki itu. Ferry mendesah dan mengecup bibir gadis di hadapannya. Kim mengangkat paha kanannya dan menurunkan pinggulnya menduduki kemaluan lelaki itu, menjepitnya di lipatan pahanya. Ferry mendesah dan menekan pinggulnya ke atas.

Kim mengecup bibir Ferry dan melumatnya dengan penuh nafsu, membuat Ferry terengah dan menggerakkan pinggulnya, menggesekkan kemaluannya ke bibir kemaluan Kim. Ferry menekan tubuh Kim, mendorongnya hingga bersandar ke dinding, Kim mendesah dan mengetatkan rangkulannya pada tengkuk Ferry, mengangkat kedua kakinya dan melingkarkannya di pinggang lelaki itu. Ferry menahan bobot tubuh Kim dengan pahanya, menggerakkan pinggulnya menggesek dan menekan kemaluan gadis itu berulang-ulang.

bersambung....