Ventura 2

Ventura 2


"Fer..." Kim terengah.
Ferry memandang wajah gadis di dekapannya yang masih basah oleh air, "Ya..?"

Kim mendadak tersenyum dan menurunkan kaki kanannya, "Sakit, bego."
Ferry tertawa kecil, "Lalu..?" Pinggulnya menekan sedikit lebih keras. Kim mengaduh dan menundukkan kepalanya, mengigit hidung lelaki itu.
"Aduh," Ferry mengerang dan melepaskan pelukannya.
Kim tertawa, membiarkan Ferry yang sibuk memegangi hidungnya. Gadis itu mengambil gayung di pinggir bak, memasukkannya ke dalam air dan menyiramkannya ke tubuh Ferry yang masih memegangi hidungnya.
"Mandi, Say. Biar segar." Ferry mengumpat kalang kabut.
"Tegaaa.."

Kim mengambil handuk dan mengeringkan tubuhnya. Ferry memeluknya dari belakang dan mencium tengkuk gadis itu. "Kim."
"Ya..?"
"Apa sih sebenarnya aku bagimu..?"
Kim tersenyum, membalikkan tubuhnya dan mengecup bibir lelaki itu.
"Sahabat yang aku sayangi."
Ferry mendesah nafasnya dalam-dalam, "Terserah kamu, deh."
Kim menangkap nada kekecewaan itu dalam nada suara Ferry.
"Tunggu."

Ferry melihat Kim mengambil gayung sekali lagi, dan menyiramkan sisa air dalam gayung itu ke lubang kunci di pintu kamar mandi. Terdengar suara seseorang memaki-maki dan beberapa langkah kaki yang tergesa-gesa menjauh. Ferry mengenakan handuknya dan membuka pintu, melihat Andi yang masih menatap rokok basah di tangannya.
"Padahal tinggal sebatang," ratapnya.
Kim tertawa-tawa kecil dan melangkah keluar.

BAB IX


Jojo terlempar, tendangan yang mengenai rusuk kirinya begitu keras. Lelaki itu hampir bisa merasakan setiap tulang rusuknya yang berderak patah. Matanya menatap nanar ke arah orang yang menendangnya.
"Bangsat."
Lelaki berambut panjang itu mendekati Jojo dan mengayunkan kakinya sekali lagi ke tubuh yang mesih tertelungkup itu. Jojo merasakan nyeri di tulang pipinya, pandangannya sedikit gelap sekarang. Ia dapat mendengar lelaki itu tertawa sinis saat menjambak rambutnya.

"Dengar, Tikus," lelaki itu mendesis di telinganya, "Dewi fortuna takkan menghampirimu saat ini. Bersyukurlah aku masih mengasihani nyawa tikusmu."
Lelaki itu menghantamkan kepala korbannya ke aspal.
Dari sudut matanya Jojo masih sempat menyaksikan beberapa pasang kaki itu melangkah menjauh sebelum gelap menyelimuti otaknya.

Ardi memainkan senar gitarnya dengan lincah mengikuti suara radio.
"Di, katanya minta kopi."
Ardi menatap Inge yang berdiri di depan pagar sambil membawa secangkir kopi.
"Wah, aku sampai lupa." Lelaki itu berdiri dan menghampiri gadis yang masih meruncingkan bibirnya. "Ayo, masuk dulu."
"Katanya minta kopi, akhirnya aku juga yang mesti repot membawanya ke sini," gadis itu mengomel panjang lebar.
"Kan sekalian saja."

Ardi memeluk tubuh Inge dari belakang, meletakkan telapak tangannya di buah dada si gadis. Inge menggeliat dan kopi itu nyaris tumpah dari tangannya.
"Hei..! Nanti dilihat orang," Inge berseru.
Ardi tertawa. mengambil kopi itu dari tangan Inge dan meletakkannya di atas meja kecil di teras.
"Lagi main lagu apa, Di..?"
"Biasa, Sweet Child o' Mine, buat inagurasi adik kelas besok."
"Keren," Inge berkata sambil mengambil gitar yang tergeletak di teras, mencoba bergaya seperti gitaris kenamaan dan memetik beberapa senar dengan jemarinya yang lentik.

Ardi tersenyum mendengar suara sumbang itu, menghampiri Inge dan berbisik di telinga gadis itu, "Sana, pulang. Masih banyak pelanggan yang menunggu cewek manis."
Inge meruncingkan bibirnya, "Jadi kamu tidak..?"
Lelaki itu tertawa dan tangannya bergerak cepat mencubit payudara si gadis.
"Nanti malam saja."
"Dasar."

"Di...."
Ardi menolehkan kepalanya, beberapa orang pemuda memasuki pekarangan dengan terburu-buru.
"Ada apa..?"
"Gawat, Di," salah seorang dari mereka berkata. Ardi menoleh sejenak ke arah Inge yang memandang bertanya-tanya.
"Inge, kamu pergi, sana." Inge mengangguk dan melangkah ke luar.
"Jadi..?"
"Jojo dibantai orang."
Ardi terkesiap, "Di mana dia sekarang..?"
"Di Syaiful Anwar."

Tanpa banyak omong Ardi bergegas mengambil jaketnya di ruang tamu, menyusupkan samurai pendek itu ke lipatan celananya dan mengajak teman-temannya segera berangkat. Selama perjalanan ia menjadi sedikit bingung menghadapi inagurasi besok, karena Jojo adalah vokalis grup band-nya. Jika Jojo cidera, siapa yang akan menggantikannya..?

Ardi menatap Jojo yang telentang di atas tempat tidur UGD dan menggelengkan kepalanya. Wajah lelaki itu terlihat penuh lebam, beberapa lilitan perban melingkari dada dan perutnya.
"Siapa, Jo."
Jojo menatap dengan sayu, kesadarannya belum pulih benar.
"Sepertinya anak Dinoyo, berambut panjang, kurus," desahnya lirih.
"Kamu pasti..?"
"Entahlah," Jojo mengerenyitkan alisnya, "Yang penting dia tahu kalau aku anak band, dan orang Surabaya. Argghh.."
Ardi memanggil perawat yang segera datang dan menyibukkan dirinya menenangkan Jojo yang mulai mengerang kesakitan. Ardi memandang dengan iba ke arah temannya, nyaris bisa merasakan kenyerian tulang rusuk Jojo yang patah.

Ardi melangkah keluar menghampiri teman-temannya, "Ayo berangkat."
"Kemana, Di."
"Ferry, dia pasti tahu."
Teman-temannya saling berpandangan dengan hati berdebar-debar mendengar nama itu. Mereka tahu sifat emosional Ardi yang terkadang membuatnya begitu impulsif, tapi Ferry..? Setelah sekian lamanya mereka bergencatan senjata..? Ini gila.

BAB X

"Ferry..! Balikin..!" Anya berteriak-teriak, menimbulkan sedikit kegaduhan di warung nasi pecel itu.
Ferry tertawa lebar dan mengangkat foto itu tinggi-tinggi, "Hahaha, ternyata kamu ada `mata' dengan anak dosen itu, ya..?"
Teman-temannya yang lain tertawa melihat gerakan Anya yang menggapai-gapai foto di genggaman lelaki tinggi besar itu.
"Fer."
Ferry membalikkan tubuhnya, melihat Naryo dan beberapa temannya sudah berdiri dan melangkah keluar dari warung. Ferry mengembalikan foto itu kepada Anya, dan menyusul keluar.

"Ada apa..?"
"Siapa yang keluar ke kota sekitar pukul tujuh tadi..?"
Ferry melangkah mendekati lawan bicaranya.
"Yang sopan, Mas. Jangan langsung main serobot."
Lelaki itu bergerak turun dari sepeda motornya, mendekai Ferry dan menatap wajahnya lekat-lekat.
"Aku bertanya, Fer."
Ferry menatap tajam ke mata Ardi dan menggeram.
"Aku bilang, yang sopan kalau bertanya," desisnya.

Ardi menggerakkan lengannya mencengkeram kerah baju lelaki itu, Ferry menepis dengan sikutnya. Beberapa orang yang mengelilingi mereka terlihat bersiap-siap memasang kuda-kuda. Para pemilik warung bergegas menyembunyikan piring, gelas, serta barang pecah belah lainnya.
"Tenang saja, Bu," gadis yang masih asik menghabiskan nasi pecelnya itu berkata, "Tidak mungkin di sini, kok."
Ibu penjaga warung itu menggaruk-garuk kepalanya sambil mendesah lega. Bagaimanapun, perkataan gadis ini selalu bisa dipercaya, pikirnya. Ferry menatap dengan garang ke arah lelaki di hadapannya.
"Kalau ada kenapa..? Ada masalah..?"
Yang diajak bicara menggeram dan mendesis, "Selesaikan seperti dulu."
"Man on man..?"
"Sure."

"Kamu tidak ikut kan, Kim..?" Anya mendesah ragu.
"Kenapa tidak," sahut Kim, menyerahkan lembar dua puluh ribuan kepada ibu penjaga warung, "Kembalinya besok saja, Bu."

"Jangan dekat-dekat, Kim. Aku takut."
Kim membatalkan niatnya untuk mendekat, mengambil tempat di samping Anya yang segera memegang lengannya kuat-kuat.
"Tunggu. Sebenarnya ini masalah apa..?"
Ardi menatap lelaki itu dan tersenyum penuh arti.
"Ini dulu. Yang lain belakangan."
Ferry tertawa dan melepaskan jaketnya, "Tentu saja."

Suasana konstruksi bangunan itu semakin mencekam. Kegelapan malam menimbulkan kesan tersendiri yang menemani hati orang-orang yang berdegup kencang melihat kedua ketua gerombolan itu bersiap mengambil kuda-kuda.

"Aku rindu kamu, Fer." Ardi berseru sambil mengayunkan lengannya.
Ferry membungkuk dan menggerakkan lengan kirinya, menusuk perut Ardi dengan buku-buku jemarinya. Ardi menggeram dan menarik kembali sikutnya, membuat kepala Ferry terlempar.
"Bagus," Ferry berseru menjatuhkan dirinya sambil menendang dengan kaki kanannya, Ardi terhuyung ke belakang.
Ferry melompat mendekat dan melemparkan tinju kanannya yang segera ditangkis oleh ayunan lengan musuhnya. Ardi mengayunkan lengan kanannya dan menghantam rahang musuhnya yang segera terdorong beberapa langkah ke samping.
"Kurang cepat..!" teriaknya.

Ferry tersenyum pahit dan menggulingkan tubuhnya, menghindari tendangan ke arah perutnya.
"Masa..?" tawanya.
Tangannya memegang kaki musuhnya yang baru menjejak tanah dan mengangkatnya ke atas. Ardi merasa kepalanya sedikit pening ketika mencium tanah di bawahnya.
"Hahaha.." Ferry tertawa melihat gelagat musuhnya yang bergulingan memegangi kepalanya, kakinya terangkat siap menjejak.
Ardi mendadak berguling dan mengayunkan kakinya ke arah kemaluan Ferry.
"Aduh, curang." Ferry terjatuh memegangi kemaluannya yang tertendang.
Seketika, kerumunan orang itu bergerak berbarengan.

"Sudah..!"
Anya terhenyak mendengar teriakan sahabatnya.
Kim berlari ke tengah kerumunan sambil membentangkan tangannya lebar-lebar.
"Lagi-lagi Kim." Ardi memegangi kepalanya yang masih sedikit pening. Ferry tertawa dalam kenyeriannya.
Kerumunan orang itu sejenak merasa lucu melihat kedua orang yang terduduk di atas tanah sambil tertawa-tawa. Kim meletakkan kedua tangannya di pinggang dan memandangi kedua lelaki itu bergantian.
"Hihi.. kalian terlihat konyol. Apa tidak malu..?"
Beberapa saat kemudian gadis itu tertawa. Semua orang ikut tertawa mendengar selorohan Kim.Suasana tegang mendadak berubah renyah.

"Jadi ada apa sebenarnya..?"
Ardi menempelkan tissue itu ke kepalanya, berusaha menghentikan aliran darah yang masih tersisa. "Ada yang memukuli Jojo, tadi, sekitar pukul tujuh.""Ah..?" Ferry cukup mengenal Jojo, angkatan adik kelasnya dari Surabaya. Seingatnya, anak itu tak pernah mencari masalah, "Lalu..?"
"Entahlah."
"Maksud kamu..?"
"Jojo merasa pernah melihat anak itu berkeliaran di seputar Dinoyo."
"Oh..?" Ferry terkesiap, "Bagaimana ciri-cirinya..?"
"Rambut panjang, kurus, dan menurut Jojo, kemungkinan juga seorang dari Surabaya."
"Surabaya..?" Kim mendesah lirih.

Ferry dan Ardi memandang heran atas reaksi Kim yang sedang memegangi botol Betadine di sebelah mereka. Namun mereka tidak terlalu mengacuhkannya.
"Dari mana ia tahu kalau orang itu anak Surabaya..?"
"Katanya, si gondrong itu sempat berkata `sejak dulu aku selalu ingin memukuli kamu', dan semacam itulah."
Ferry menganggukkan kepalanya, "Berarti cerita lama, dong..?"
"Mungkin. Dan Jojo baru masuk ke sini setahun. Berarti orang itu memang memburunya."

"Tunggu," seseorang berkata, "Kalau gondrong, kurus, anak pindahan..."
Ferry dan Ardi menoleh ke arah Anya. Kim memandang dengan penuh perhatian, hatinya berdebar. Mungkinkah....

BAB XI

"Papin..!"
Papin menoleh dan melihat seseorang menghampirinya dengan tertawa. Iwan merasa gerah memandangi orang yang barusan datang bersama teman-temannya. Papin mengerenyitkan alisnya. Orang yang baru datang itu mengatakan sesuatu kepada teman-temannya, sebelum meninggalkan mereka dan mengambil tempat duduk di samping Papin.
"Papin. Ternyata," orang itu tertawa menampakkan giginya yang kehitaman, "Aku ngga mengira ketemu kamu disini."
"Hehehe," Papin tertawa masam, "Oh, kenalkan, ini Iwan."
Iwan mendengar suara gemerincing dari gelang besi di pergelangan tangan lelaki itu saat menjabat tangannya, "Dodon, kenalkan."

"Sudah berapa lama, Pin..?"
Papin tersenyum, "Hehehe, sekitar enam bulan."
Dodon ikut tertawa, "Aku sudah mengira kamu bakalan nyusul aku ke Malang."
Iwan yang tidak mengerti bahan pembicaraan memilih diam dan menghabiskan kopinya sambil memandangi orang yang berlalu lalang di depannya.
"Pin, sejak keja..."
"Don, kamu ngapain aja selama ini..?" Papin memotong pembicaraan.
Dodon tertawa dan melirik ke arah Iwan yang menatap ke seberang. "Biasa, pengangguran."
Papin tersenyum dan mematikan rokoknya di dalam asbak. "Sama sekali tidak berubah."
Dodon tergelak. "Dan kamu..?"
"Yah, beginilah. Masih berusaha melupakan."
Dodon tersenyum, menyalakan rokoknya, "Si Kembar."
"Yang terpisah." Papin melanjutkan, dan mereka berdua tertawa.

"Pin, cabut yuk." Iwan memecah pembicaraan.
Papin merasa lega dalam hatinya, "Ayo. Don, kami balik dulu."
"Oke, aku juga mau persiapan perayaan."
"Oh, perayaan apa..?"
"Biasa, tadi malam baru `pesta'."
Papin tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Kamu tetap berangasan seperti dulu."

"Oh, jadi orang itu yang lebih dulu menyenggol sepeda motormu..?"
Jojo mengangguk lemah mengiyakan. "Berarti ia memang sengaja."
Ferry meraba janggutnya, mecoba memikirkan apa yang harus dilakukannya.
"Kamu yakin pernah melihat dia di daerahku..?"
Ardi memegangi pundak Ferry, "Jojo bukan seorang pembohong."
Ferry mendesah, "Baiklah. Aku akan coba mencarinya."

Sebelum melangkah pergi, Ferry mendadak teringat sesuatu.
"Jo, kata orang itu dia sudah lama ingin memukuli kamu, berarti dia juga dari Surabaya. Apa kamu pernah punya masalah waktu di sana..?"
Ardi menatap ke arah Jojo, menyadari kebenaran asumsi Ferry. Jojo membuka matanya sedikit.
"Aku jadi ragu-ragu." Ferry mendesah saat melangkah keluar.
"Kenapa, Fer..?" tanya Ardi ingin tahu.
"Entahlah. Aku tahu ada seorang anak pindahan di daerahku yang mungkin sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan si Jojo. Hanya saja..."
"Kenapa..?"
"Sepertinya anak itu bukan seorang preman. Malah cenderung seperti cacing kurus berambut panjang."
"Apa salahnya dicoba dulu..?"
Ferry mengiyakan.
"Ayo kita cari dia."

BAB XII

"Menurut kamu kelanjutannya bagaimana..?"
Kim mengangkat bahunya, "Entahlah, itu urusan mereka."
Anya membantu Kim memisahkan kaset-kaset di depan mereka.
"Eh, Kim. Bagaimana kabar pahlawanmu..?"
Kim menjambak rambut Anya yang tersenyum menggoda.
"Idih, iseng. Mana aku tahu..?"
Anya menggeliat dan menyenggol rak kaset. Beberapa kaset terjatuh dan mengeluarkan suara nyaring.
"Ups." Kim bergegas membereskan kaset yang berserakan sebelum pemilik toko menghampiri.
"Gara-gara kamu, Kim," omel Anya sambil membantu.

"Mas, awas kakinya."
Orang itu menoleh dan dengan gerakan kocak melompat ke samping. Kim tertawa melihat gerakan kaki itu dan mengangkat kepalanya.
"Kamu..?"
Papin membungkukkan tubuhnya, memungut kaset di depan kakinya.
"Maaf, aku tidak sengaja berdiri di sini," katanya kemudian sambil menggaruk ubun-ubunnya.
Gerakannya terlihat begitu konyol. Kim tersenyum.
"Oh, tidak apa-apa," Kim berusaha menyingkirkan bayangan seseorang yang samar-samar di ingatannya. Tidak mungkin.
"Makanya, kalau jalan lihat-lihat." Anya yang mendadak muncul berkata sinis.
"Iya, deh. Sori." Papin tergagap-gagap.
"Pin, sudah ketemu kasetnya ?" Iwan melangkah dari rak kaset.
"Sudah."
"Pin..?" Kim bertanya menggumam.
"Aku Papin." Papin menjulurkan tangannya.
"Kim. Ini Anya." Anya meruncingkan bibirnya.
Papin tersenyum, "Ini..."
"Iwan, anak manajemen '94," Kim menyahut.
Iwan mengeluarkan keringat dingin di pelipisnya, "Oh..i..iya." Mau tak mau kedua gadis itu tertawa melihat tingkah gugup Iwan.

Papin memandang dengan heran, "Kenapa, Wan..?"
"Tidak apa-apa," Iwan berkata cepat, "Ayo, Pin."
Papin bangkit berdiri dan membersihkan tangannya di celananya.
"Buru-buru, nih." tanya Kim setelah bangkit berdiri.
"Iya. Kami cuma mencari kaset." Papin berkata sambil menunjukkan sebuah kaset.
"Oh, okelah. Eh, Papin, kamu anak pindahan dari Surabaya, kan..?"
Papin memiringkan kepalanya, "Kamu kok tahu..? Kenapa..?"
"Ada kenalan yang bernama `Batak' tidak..?"

Papin memandang langit-langit toko, berfikir sejenak.
"Hmm.. perasaan Surabaya itu luas, dan banyak orang bataknya."
Kim tertawa melihat gaya sok serius itu, "Iya deh. Pulang sana, nanti temanmu pulang disuruh mandi, ya."
Iwan menunduk dan mengusap-usap punggung lehernya. Papin tertawa, "Hahaha, baiklah. Sampai jumpa."
Kim mengangguk dan tersenyum, melihat Papin yang sejenak terpana, sebelum lelaki itu melangkah pergi bersama temannya.
"Kamu kok jadi sok akrab begitu, Kim..?"
Kim mendesah dalam. "Pandangan matanya..."
"Kenapa dengan matanya..?"
"Entahlah."
Kim tak mungkin menceritakan pada temannya tentang perasaan hatinya yang bergetar saat menyadari sorotan tajam yang begitu dalam dan teduh dari mata lelaki itu. Sebuah pancaran kekelaman penderitaan yang nyaris tak pernah ditemuinya selain pada saat-saat dimana ia bercermin di depan kaca.

"Hey tunggu, apa-apaan ini."
Lelaki kurus itu memegangi pantatnya yang sakit setelah mencium aspal. Matanya memandang ke sekelilingnya. Gelap, nyaris tak ada cahaya di tempat itu. Sosok-sosok tubuh mendekatinya, si lelaki kurus terkesiap dan bangkit berdiri. sempat melirik sepeda motornya yang terguling setelah ditendang tadi.
"Tunggu." Sebuah seruan terdengar dari balik kerumunan orang itu.
Kerumunan itu membuka jalan. Dua orang mendekatinya, lelaki kurus itu menyipitkan matanya berusaha memastikan sosok-sosok yang menghampirinya.
"Kamu..? Kamu yang waktu itu..?"
"Benar," Ferry mengiyakan, "Temanku di sini ingin menanyakan sesuatu."
"Oh," Lelaki itu menatap sosok di sebelah Ferry, "Silahkan saja."
Ardi menatap wajah kurus itu dalam-dalam, berusaha mengira dan mengukur.
"Aku mau bertanya," desisnya lirih, "Mampukah kau menerima ini..?"
Tangannya terayun.

Lelaki kurus itu menerima pukulan di rahangnya dengan telak, "Arrghh..." Buku-buku jemarinya terkepal. Matanya terasa berkunang-kunang.
Ferry tersenyum, menggelengkan kepalanya dan menghisap rokoknya.
"Bukan dia, Di."
Ardi mengusap buku jarinya yang sedikit kesemutan, "Kurasa juga demikian."
"Ayo, kita pergi. Kita ke tempat Jojo, mungkin ada yang terlewat."
Ardi mengiyakan dan naik ke atas sepeda motor.
Si lelaki kurus memandang dengan bingung. namun ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Kerumunan lelaki itu menyalakan sepeda motor mereka masing-masing.

"Oh, ya." Ferry membalikkan tubuhnya.
Tubuhnya membungkuk dan mengambil sebutir kerikil.
"Hey, kurus. Nih." tangannya melemparkan batu kerikil itu ke arah kepala si lelaki kurus.
Lelaki itu memiringkan kepalanya sedikit dan batu kerikil itu menyibakkan rambut panjang yang tergerai di pundaknya. Ferry tersenyum, menarik gas sepeda motornya dan berlalu.
"Sialan," Ardi mengeluarkan keringat dingin sebelum memutar sepeda motornya dan menyusul Ferry.

"Siapa dia sebenarnya..?"
Ferry merasakan angin malam menenangkan bulu tengkuknya.
"Aku merasa pernah mengenalnya dulu. Dulu sekali..."
"Dulu..?" Ardi terhenyak, teringat akan masa-masa SMA mereka.
"Apa mungkin..?"
"Mungkin saja. Tapi bukan dia yang memukul Jojo."
"Kalau benar itu dia, memang tidak mungkin."

BAB XIII

Lelaki itu menyibakkan rambut panjangnya, membiarkan bibir gadis di atasnya menelusuri lehernya. Mulutnya menyunggingkan senyuman, tangannya bergerak meremas pinggul si gadis. Pinggulnya terangkat, menekan kemaluannya semakin dalam. Gadis itu menggeliat dan mengeluh, menikmati batang kemaluan si lelaki memenuhi liang vaginanya. lelaki itu bergerak semakin liar, membanting si gadis hingga terlentang, menciumi payudara si gadis yang semakin terengah. Jemari gadis itu menjambak rambut panjang si lelaki dengan kasar, menekan kepala si lelaki kedadanya. Lelaki itu mengangkat tubuhnya dan menampar pipi si gadis yang hanya tersenyum. Dalam tawanya lelaki itu menggerakkan pinggulnya semakin cepat. Gadis itu mengerang penuh kenikmatan.

Dodon mengerang, mengejang dan menyemburkan spermanya ke liang kemaluan gadis di bawahnya. Gadis itu mengangkat kakinya tinggi-tinggi, melingkarkannya ke pinggang lelaki di atasnya dan menekan pinggulnya kuat-kuat.
"Sial." Dodon mengumpat dan melompat dari tubuh si gadis saat mendadak pintu terbuka dengan suara keras.
Si gadis menjerit dan menutupi tubuhnya dengan seprei.

"Oh, kamu. Ada apa..?" ucap Dodon menenangkan dirinya.
Lelaki yang mendobrak pintu kamar itu menarik turun topi SOX-nya dan mendesis, "Kamu sebaiknya segera pulang ke Surabaya."
Dodon menyempatkan diri untuk duduk di pinggir tempat tidur dan menyalakan rokok yang sudah terselip di bibirnya, "Kenapa aku harus pulang..?"
Gadis telanjang itu berlari kecil menuju kamar mandi.
"Mereka mencarimu karena ulahmu."
Dodon bangkit berdiri dan mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki bertopi itu.
"Hey," desisnya, "Lagipula ini semua gara-gara kamu."

Lelaki bertopi itu menatap mata Dodon dalam-dalam.
"Gara-gara aku..?"
Dodon membalikkan tubuhnya, melemparkan rokok di mulutnya ke lantai dengan penuh amarah, "Seandainya waktu itu kamu mengijinkanku menghabisinya di Surabaya, dendam ini takkan merembet sampai ke wilayah orang. Kamu sendiri seharusnya sadar itu..!"
Kata-kata itu menusuk, membuat si lelaki bertopi mengangkat kepalanya.
"Pulang, Don. Entah apapun alasannya. Kamu berbahaya kalau terus di sini, aku mengingatkanmu sebagai seorang teman lama."
"Seandainya aku tidak pulang..?"
Lelaki itu melangkah mendekat, geraman kecil terdengar dari bibirnya.
"Aku akan memulangkanmu."
Matanya tajam dan menusuk.

Suasana sejenak hening. Dodon merasakan bulu kuduknya meremang.
"Kamu serius, Tak..?" desisnya lirih.
"Menurut kamu..?"

BAB XIV

"Lalu..?" Kim mendengar dengan penuh perhatian.
"Entahlah," Ina menghabiskan jus apelnya, "Kudengar seseorang meninggalkan seamplop uang di meja rumah sakit, beserta surat pernyataan maaf untuk Jojo."
"Masa tidak ada yang melihatnya..?"
"Itu masalahnya, katanya sih ada anak gondrong bertopi yang berkeliaran sebelum amplop itu ada di atas meja."
Kim menenangkan debaran jantungnya.
"Jadi mungkin benar itu dia."

Ferry mendesah nafasnya dalam-dalam. Ardi menggelengkan kepalanya, bersyukur bahwa kemarin orang itu tidak membalas pukulannya.
"Kamu sangat beruntung, kalau itu memang dia."
"Ya, benar. Aku masih beruntung."
"Lalu apa yang harus kita lakukan..?"
"Kembali seperti biasa..? Lagipula si pemukul sudah pergi dari sini."
"Lalu..? Apakah kita tidak memburu si pemukul lewat dia..?"
"Lupakan saja. Jojo kan sudah menerima uang rumah sakit."
"Tapi... masa segitu saja..?"
"Kamu mau cari masalah lagi..? Aku tidak, itu yang jelas. Kamu tahu kan akibatnya kalau mencari masalah dengan orang itu..? Seandainya itu benar dia."

Ardi mengeluh. Mimpi buruk itu kembali menghantui dirinya, menindas perasaan sebal tentang inagurasi yang toh akhirnya terpaksa berlangsung tanpa keikutsertaannya.


TAMAT